Selasa, 30 November 2010

KUNDALINI ADALAH IBLIS

Tentang asal usul manusia yang bermula pada nabi Adam as,juga sebab musabab dikeluarkannya nabi Adam dan Siti Hawa oleh godaan Iblis dari surga.Mendorong rasa ingin tahu yang dalam tentang hakikat iblis sebagai musuh manusia ini,sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai Adam,sesungguhnya ini(iblis) adalah musuh (yang nyata)bagi dirimu dan juga istrimu,maka sekali-kali janganlah ia mengeluarkan kamu berdua dari surga,yang menyebabkan kamu menjadi celaka.”(QS.Thaha:117)
“maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"(QS.Al-A’raf:22)


Juga memperhatikan janji iblis kepada Allah SWT,setelah dinyatakan sebagai yang terlaknat:“Ya,Tuhanku,beri tangguhlah aku sampai hari dimana mereka dibangkitkan.”(QS.Shaad:79)
“Demi kekuasaan-Mu aku akan menyesatkan mereka semuanya.”(QS.Shaad:82)

Dalam sebuah literatur jawa jaman dahulu disebutkan bahwa wujud iblis yang menggoda nabi Adam dan Siti Hawa untuk memakan buah quldi yang berakibat keluar dari surga adalah berbentuk ular api.
Allah SWT berfirman:”Sesungguhnya ia(iblis)dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.”(QS.Al-A’raf:27)
Lalu dimana tempat tinggal iblis yang sebenarnya?Mari kita kaji bersama-sama.
Menurut sebuah hadist yang diriwayatkan dari Anas Bin Malik ra:
Iblis telah bertanya kepada Allah SWT:”Wahai,Tuhanku!,engkau telah memberikan anak Adam tempat kediaman untuk berteduh dan berdzikir kepada-Mu,oleh karena itu tunjukkanlah padaku tempat kediamanku..!
Firman Allah SWT:”tempat kediamanmu adalah didalam tandas!”

Tandas adalah tempat gelap dan kotor yang letaknya diantara dua lubang najis yaitu kemaluan dan dubur.Ada yang menafsirkan sebagai kamar mandi atau wc.

Spoiler for letak awalnya:


Dalam ajaran Islam dijelaskan bahwa ada jin yang memakan uap kotoran manusia.Saya mengira bahwa jin dalam diri manusia tersebut adalah juga iblis yang bertugas menggoda dan menyesatkan keturunan nabi Adam,karena diciptakan dari api.Saya berprasangka bahwa iblis yang menggoda keturunan nabi Adam itu juga sama dengan iblis yang menggoda nabi Adam dan Siti Hawa untuk memakan buah quldi diawal sejarah manusia.Berwujud ular dan dari padanya tercipta tulang punggung yang lebih kita kenal dengan nama ‘ula-ula’ dalam bahasa jawa berarti ular karena bentuk tulang punggung manusia menyerupai ular.Jadi jelaslah sudah bahwa jin/iblis itu bersemayam didalam diri setiap manusia.Seperti juga disabdakan nabi Muhammad SAW,beliau pun mengatakan bahwa dalam dirinya terdapat juga makhluk jin/iblis ini.Hanya saja beliau telah menaklukkannya,sehingga tidak bisa mengganggu dalam beribadah dan menyembah Allah SWT.Dalam keyakinan agama lain disebut sebagai kundalini yang bersemayam didalam tulang ekor.

setelah ular ini bangkit dan keluar secara gaib akan digantikan oleh dua ekor ular yang menyusup dari ubun-ubun masuk kedalam tulang ekor tanpa diketahui oleh para praktisi reiki kundalini.Saya memohon petunjuk pada Allah SWT waktu itu.Dari atas langit meluncur cepat dua ekor ular berwarna hitam,tetapi saya menolaknya dengan do’a yang telah saya ajarkan dilevel satu.

untuk menghilangkan makhluk yang berada didalam tulang ekor tersebut naik keatas kepala dan menghilang secara gaib dilevel satu hanya perlu waktu minimal 7 hari tanpa bantuan pelatih atau master.

Spoiler for menghilang secara gaib:


Kemudian menolak kehadiran dari makhluk jenis apa pun yang mencoba menyusup kedalam tubuh melalui do’a yang diwariskan nabi Muhammad SAW.Sehingga energi yang didapatkan menjadi benar-benar murni kekuatan ilahiah yang diberikan Allah SWT kepada manusia,tanpa campur tangan makhluk lain.Karena dalam setiap diri manusia itu terdapat energi Haq(kebenaran)masing-masing dari Tuhan-Nya,dengan kapasitas yang berbeda-beda sebagai makhluk paling sempurna di alam semesta.Berbeda pendapat dan keyakinan itu adalah sebuah anugerah,karena dari perbedaan – perbedaan itu merupakan ujian terhadap keyakinan hingga menemukan titik keyakinan yang sebenarnya(haqul yakin).Benar bagi diriku belum tentu benar bagi dirimu,namun kebenaran sejati adalah hak mutlak Allah SWT yang akan kita pertanggung jawabkan masing-masing.

Bagaimana jika ular ini tidak bisa dikeluarkan dg sempurna,misal hanya sampai punggung atau kepala?Seperti penjelasan saya atas pertanyaan rekan2,rileks jangan dipaksakan.Biarkan keluar dengan dibantu do'a tersebut atau anda bisa melakukan visualisasi mendorong keatas sehingga terbuang dg sempurna.Setelah keluar pagari diri dengan lam jalalah dan selalu berdo'a agar tidak ada gangguan lagi.

Jika belum berhasil keluar bisa sakit kepala,pusing dan susah tidur,pegal pada daerah punggung,leher dimana dia belum 100% dikeluarkan.Cara mengatasinya adalah:

Duduk rileks dengan pernafasan biasa(tnp tahan nafas),baca affirmasi/do'a terus menerus.Pernafasan ini adl menutup lubang hidung kanan dan bernafas pakai lubang hidung kiri selama 5 menit.Kemudian dibalik menutup lubang hidung kiri dan bernafas pakai lubang hidung kanan selama 5 menit.

Pernafasan ini akan membantu memulihkan cidera akibat belum berhasil mengeluarkan makhluk tsb.

Demikian penjelasan saya semoga dapat membantu seperlunya.

Selasa, 23 November 2010

Tasawuf Kok meninggalkan Syari'at ?

Aqidah Islam merupakan aqidah yang sangat jelas membedakan antara dua hal, yaitu dlahir dan batin. Maksudnya adalah antara syari’at (yang merupakan pintu yang harus dimasuki oleh semua orang) dan hakikat (yang hanya bisa dicapai oleh mereka yang terpilih). Pemisahan kedua hal ini bukanlah pemisahan yang dipaksakan, tetapi lebih merupakan sesuatu yang sudah semestinya, karena kesiapan manusia itu berbeda-beda dan sebagian mereka ada yang lebih siap untuk mengetahui hakikat.

Kami sering menemui banyak orang yang mengumpamakan syari’at dan hakikat dengan kulit dan isinya atau dengan lingkaran dan titik pusatnya. Syari’at mencakup aspek i’tiqadi (keyakinan), hukum dan aspek sosial-kemasyarakatan, yang kesemuanya tidak bisa dipisahkan dari Islam itu sendiri. Syari’at adalah pintu pertama yang harus dimasuki oleh orang yang mau menempuh jalan tasawuf. Sedangkan hakikat pada dasarnya adalah pengetahuan atau ma’rifat semata. Namun demikian, anda harus mengetahui bahwa ma’rifat inilah yang membuat syari’at memiliki maknanya yang lebih mendalam. Hakikat memberi nilai tambah bagi eksistensi syari’at. Sebenarnya, hakikat – meskipun tidak disadari oleh kebanyakan orang mu’min – adalah “titik pusat”, jika kita umpamakan dengan titik tengah lingkaran.

Ilmu Huruf dan Rahasianya

Di nukhilkan di dari kitab Syumusul Anwar, syamsul ma’arif. kitab Syarah Doa Jawsyan Kabir Berikut terceritakan betapa sulitnya beliau mendapatkan do’a ini. “Ketahuilah wahai saudaraku yang membaca dan menghapalkan setiap malaikat asma, maka apabila mati tubuhnya akan terjaga dari kerusakan”…Sesungguhnya ilmu ini penuh dengan keberkahan dan mustajab. Aku mencarinya do’a, teknik dan ijazah ini selama 5 tahun yang akhirnya kudapatkan do’a ini dari seorang Syeikh yang berasal dari Iraq tepatnya di kota Baghdad, kondisi rumah Syeikh ini secara fisik sangatlah dibawah minim namun keikhlasan dan ibadahnya kepaada ALLAH sangatlah luarbiasa, dan banyak sekali mengerjakan pekerjaan Khowariqul ‘Adah (Adat diluar kebiasaan Manusia ) Aku bertemu dengan Syeikh ini setelah aku ber Riyadhoh yang sangat panjang dan membahas didalam masalah ilmu dan berbagai macam ke ajaiban-ajaiban dan ke anehan yang muskyil terjadi.

Selasa, 16 November 2010

Power Energi Ikhlas

Ikhlas adalah parameter tersuci dari kualitas sebuah niat atau motivasi yg melandasi suatu perbuatan.
Niat adalah buah dari hasrat & keinginan.
Hasrat adalah buah dari gerak nafsu.
Jadi.. Ikhlas hanya bisa terjadi jika nafsu kita suci & bersih dari segala kotoran (NAFSUL MUTHMAINNAH).

Oleh itu maka sembahlah kamu akan Allah dengan mengikhlaskan ibadat kepada-Nya (dan menjauhi bawaan syirik), sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai (amalan yang demikian). ( Ayat 14 : Surah al-Mu’min )


Katakanlah: “Tuhanku menyuruh berlaku adil (pada segala perkara), dan (menyuruh supaya kamu) hadapkan muka (dan hati) kamu (kepada Allah) dengan betul pada tiap-tiap kali mengerjakan sembahyang, dan beribadatlah dengan mengikhlaskan amal agama kepada-Nya semata-mata; (kerana) sebagaimana Ia telah menjadikan kamu pada mulanya, (demikian pula) kamu akan kembali (kepada-Nya)”. ( Ayat 29 : Surah al-A’raaf )

Makna Ikhlas
Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.

Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.

Kedudukan Ikhlas

Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas.

Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162).


Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”


Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.”

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”

Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.

Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”

Energi Ikhlas

1. Berkahnya Amal, Ikhlas menjadi Faktor kali yang melipatgandakan nilai dari sebuah amal.

Saudaraku yang semoga dicintai oleh Allah, sesungguhnya yang diwajibkan dalam amal perbuatan kita bukanlah banyaknya amal namun tanpa keikhlasan. Amal yang dinilai kecil di mata manusia, apabila kita melakukannya ikhlas karena Allah, maka Allah akan menerima dan melipat gandakan pahala dari amal perbuatan tersebut.

Abdullah bin Mubarak berkata "Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak pula amal yang besar menjadi kecil hanya karena niat".

Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam bersabda : "Seorang laki-laki melihat dahan pohon di tengah jalan, ia berkata : demi Allah aku akan singkirkan dahan pohon ini agar tidak mengganggu kaum muslimin, Maka ia pun masuk surga karenanya" (HR Muslim).

Lihatlah saudaraku, betapa kecilnya amalan yang dia lakukan, namun hal itu sudah cukup bagi dia untuk masuk surga karenanya.

Dalam hadits lain Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam bersabda : "Dahulu ada seekor anjing yang berputar-putar mengelilingi sumur, anjing tersebut hampir-hampir mati karena kehausan, kemudian hal tersebut dilihat oleh salah seorang pelacur dari bani israil, ia pun mengisi sepatunya dengan air dari sumur dan memberikan minum kepada anjing tersebut, maka Allah pun mengampuni dosanya " (HR Bukhari Muslim). Subhanallah, seorang pelacur diampuni dosanya oleh Allah hanya karena memberi minum seekor anjing, betapa remeh perbuatannya di mata manusia, namun dengan hal itu Allah mengampuni dosa-dosanya. Maka bagaimanakah pula apabila seandainya yang dia tolong adalah seorang muslim ?.

Dan sebaliknya, wahai saudaraku, amal perbuatan yang besar nilainya, seandainya dilakukan tidak ikhlas, maka hal itu tidak akan berfaedah baginya.

Dalam sebuah hadits dari Abu Umamah Al Bahili , dia berkata : seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan bertanya : wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan pahala dan agar dia disebut-sebut oleh orang lain, maka Rasulullah pun menjawab : Dia tidak mendapatkan apa-apa. Orang itu pun mengulangi pertanyaannya tiga kali, Rasulullah pun menjawab : Dia tidak mendapatkan apa-apa. Kemudian beliau berkata : Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali apabila amalan itu dilakukan ikhlas karenanya" (Hadits Shohih Riwayat Abu Daud dan Nasai). Dalam hadits ini dijelaskan bahwa seseorang yang dia berjihad, suatu amalan yang sangat besar nilainya, namun dia tidak ikhlas dalam amal perbuatannya tersebut, maka dia pun tidak mendapatkan balasan apa-apa.

2. Benteng dan Perisai Diri dari serangan Energi Negatif dari Luar Diri

Seseorang yang telah beramal ikhlas karena Allah (di samping amal tersebut harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah), maka keikhlasannya tersebut akan mampu mencegah setan untuk menguasai dan menyesatkannya. Allah berfirman tentang perkataan Iblis laknatullah alaihi yang artinya :

"Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka" (Shod : 82-83).

Banyak orang yang mencari solusi untuk persoalan perisai diri ini. Bahkan terkadang menghabiskan biaya yang tidak kecil, ribuan hingga ratusan juta rupiah. Padahal seandainya mereka mau mengolah Qalbu mereka agar senantiasa menghadap kepada Allah, serta mensucikan qalbunya dari segala noda. Dengan jalan senantiasa berdzikrullah, maka kejernihan hati dan keikhlasan ini akan tumbuh di dalam hatinya. Sehingga secara otomatis segala energi jahat tak akan ada yang bisa menempel padanya.

Energi Jahat adalah balatentara iblis dan syetan, mereka hanya bisa mengganggu kita bila kondisi batiniah kita juga kotor. Bagaikan lalat yang hinggap di atas kotoran. Namun bila bathin kita bersih, maka kotoranpun akan enggan menempel ke dalam bathin kita. Apalagi bila sering-sering dibersihkan dengan Dzikir.

3. Benteng dan Perisai Diri dari serangan Energi Negatif Yang Tumbuh Dari Kelemahan Diri

Orang yang ikhlas akan Allah jaga dari perbuatan maksiat dan kejelekan, sebagaimana Allah berfirman tentang Nabi Yusuf yang artinya

"Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas. " ( Yusuf : 24).

Pada ayat ini Allah mengisahkan tentang penjagaan Allah terhadap Nabi Yusuf sehingga beliau terhindar dari perbuatan keji, padahal faktor-faktor yang mendorong beliau untuk melakukan perbuatan tersebut sangatlah kuat. Akan tetapi karena Nabi Yusuf termasuk orang-orang yang ikhlas, maka Allah pun menjaganya dari perbuatan maksiat. Oleh karena itu wahai saudaraku, apabila kita sering dan berulang kali terjatuh dalam perbuatan kemaksiatan, ketahuilah sesungguhnya hal tersebut diakibatkan minim atau bahkan tidak adanya keikhlasan di dalam diri kita, maka instropeksi diri dan perbaikilah niat kita selama ini, semoga Allah menjaga kita dari segala kemaksiatan dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas.

Amin ya Robbal alamin.

Rabu, 10 November 2010

Wasiat Nabi Khidir as Kepada Nabi Musa as

Pesan yang Pertama
Ketika Nabi Khidir hendak berpisah dengan Nabi Musa, dia (Musa) berkata, “Berilah aku wasiat”. Jawab Nabi Khidir :
  1. Wahai Musa, jadilah kamu orang yang berguna bagi orang lain.
  2. Janganlah sekali-kali kamu menjadi orang yang hanya menimbulkan kecemasan diantara mereka sehingga kamu dibenci mereka.
  3. Jadilah kamu orang yang senantiasa menampakkan wajah ceria dan janganlah sampai mengerutkan dahimu kepada mereka.
  4. Janganlah kamu keras kepala atau bekerja tanpa tujuan.
  5. Apabila kamu mencela seseorang hanya karena kekeliruannya saja, kemudian tangisi dosa-dosamu, wahai Ibnu Imron! (Al Bidayah Wan Nihayah juz I hal. 329 dan Ihya’ Ulumuddin juz IV hal. 56).

Selasa, 09 November 2010

Ulasan Kitab Sirr al-Asrar Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam
Dan, menjelang fajar mereka mohon ampunan
Allah memandu kepada cahaya-Nya
Siapa yang Dia kehendaki

Demikian salah satu bait-bait syair yang terdapat dalam kitab Sirr al-Asrar wa Muzhhir al-Anwar fi ma Yahtaju Ilayhi al-Abrar (Rahasia dari Segala Rahasia Kehidupan) karya Syekh Abdul Qadir al-Jailani, seorang sufi terkemuka.

Kitab ini menjelaskan tentang dasar-dasar ajaran Islam, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, berdasarkan sudut pandang sufistik (tasawuf). Di dalamnya, terdapat 24 bab yang didasarkan pada 24 huruf dalam kalimat syahadat (Asyhadu an laa Ilaaha Illa Allah wa Asyahadu annaa Muhammad Rasulullah) dan 24 jam dalam sehari semalam.

Kitab yang ditulis Syekh Abdul Qadir al-Jailani (ada pula yang menulisnya dengan Al-Jilani) ini dianggap sebagai jembatan yang mengantarkan pada tiga karyanya yang terkenal, yaitu Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq (Bekal para Pencari Kebenaran), Al-Fath al-Rabbani wa al-Faydh al-Rahmani (Menyelami Samudra Hikmah), dan Futuh al-Ghayb (Penyingkapan Kegaiban).

Adapun metode pengajaran dan penyampaian yang digunakannya dalam kitab tersebut adalah metode bayani (penjelasan), yakni dengan menggunakan kata-kata yang tepat, ungkapan yang mudah, seimbang, dan jauh dari keruwetan.

Contohnya, ketika memberikan pengertian tentang iman, ia berkata, ''Kami yakin bahwa keimanan adalah pengucapan dengan lisan, pembenaran dengan hati, dan pelaksanaan dengan anggota badan. Bertambah dengan ketaatan, berkurang dengan kemaksiatan, menguat dengan ilmu, melemah dengan kebodohan, dan timbul karena adanya taufik.''

24 Rahasia
Sesuai dengan namanya, yaitu Sirr al-Asrar (Rahasia dari Segala Rahasia Kehidupan), setidaknya terdapat 24 macam rahasia yang diungkapkan Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab ini.

Pertama, pembahasan ini dimulai dengan keberadaan manusia yang dilihat dari sudut pandang jiwa dan raga. Secara umum, manusia mempunyai ciri-ciri fisik yang hampir sama. Tapi, dari sisi jiwa, setiap orang berbeda-beda. Karena itu, perlu penjelasan yang lebih khusus, yakni sebuah kaidah tentang jalan menapaki satu tingkatan ke tingkatan lainnya, untuk mencapai alam ilmu, sebagai tingkatan tertinggi.

Ia mendasarkan hal tersebut pada sebuah hadis, ''Ada satu tingkatan yang di dalamnya semua dan segala sesuatu dihimpun, yaitu makrifat ilmu.'' Kemudian, ia memperkuat argumentasinya dengan beberapa hadis lain. ''Tafakur sesaat lebih utama daripada ibadah setahun.'' Atau, ''Sesaat tafakur lebih utama daripada ibadah seribu tahun.''

Kedua, ia mengatakan bahwa jalan pertama menuju kesempurnaan adalah tobat. Seperti disebutkan dalam Alquran, ''Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.'' (QS al-Baqarah [2]: 222).

Lalu, diperkuat dan diperjelas lagi dengan ayat lain. ''Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; Maka itu, kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS al-Furqan [25]: 70).

Ketiga, tentang zakat dan sedekah. Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengatakan bahwa segala sesuatu yang diberikan sebagai zakat, akan melalui tangan Allah sebelum sampai kepada kaum fakir. Karena itu, tujuan zakat tidak semata-mata untuk membantu kaum fakir, karena Allah Maha Mengetahui semua kebutuhan, termasuk kebutuhan kaum fakir.

Menurut Abdul Qadir, tujuan zakat sejatinya adalah agar niat seorang yang berzakat diterima oleh Allah. Ia mengutip firman Allah SWT, ''Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan, apa saja yang kamu nafkahkan. Maka, sesungguhnya Allah mengetahuinya.'' (QS Ali Imran [3]: 62).

Keempat, Syekh Abdul Qadir membagi puasa menjadi dua, puasa lahir dan puasa batin. Puasa lahir dibatasi oleh waktu, dengan menjauhi makan, minum, dan hubungan seks, dari fajar hingga tenggelam matahari. Sedangkan puasa batin dijalani selama-lamanya, selama hidup di dunia hingga kehidupan di akhirat, dengan menjaga semua indra dan pikiran dari segala yang diharamkan. Inilah puasa yang sejati.

Ia mengutip hadis, ''Bagi orang yang berpuasa, ada dua kegembiraan. Satu kegembiraan saat berbuka dan kegembiraan lainnya saat ia melihat Allah (makrifat).''

Syekh Abdul Qadir yang juga dijuluki sebagai 'Penghulu Para Auliya' ini mengupas tentang aspek lahir dan batin dari shalat dan ibadah haji. Memberi panduan zikir, wirid, dan berkhalwat. Menyingkap hakikat kebahagiaan, penderitaan, dan penyucian jiwa. Menganjurkan perang melawan hawa nafsu dan melihat hakikat Ilahi, hingga meraih maqam penyaksian (musyahadah).

Syekh Abdul Qadir al-Jailani telah menggambarkan secara lengkap tentang tasawuf yang memadukan antara ilmu syariat, yang didasarkaan pada Alquran dan sunah melalui penerapan praktis dengan keharusan untuk menghayati hakikat serta manfaat dari diterapkannya syariat.

Jadi, tasawuf yang dirumuskannya jauh dari paham-paham yang mengatakan bahwa setelah seseorang mencapai tingkat hakikat, sudah tidak dibutuhkan lagi syariat.

Dengan kata lain, kajian ini mengajak setiap Mukmin untuk berpindah dari iman yang baru sampai pada batasan rasio dan teori (iman aqli), kepada iman yang sudah sampai pada tahapan penghayatan dan pendalaman (iman dzauq). Dan, dari kesadaran hati akan perbuatan dan sifat-sifat Allah (maqam fana) kepada pemahaman rohani akan zat-Nya (maqam baqa').

Dengan demikian, seorang Mukmin akan meraih hakikat kelembutan, mencapai keikhlasan, dan menghampiri Sang Kekasih Yang Mahasuci. Inilah rahasia dari segala rahasia kehidupan, yang baru diketahui sebagian rahasianya oleh Barat, dengan terbitnya buku The Secret yang fenomenal itu.

Kalau tidak boleh dibilang terpengaruh, spiritualitas di Barat sebenarnya jauh tertinggal dengan spiritualitas di dunia Islam, karena kitab Sirr al-Asrar dikarang jauh sebelum Barat mengungkapnya.

Sirrul Assrar-Syeikh Abdul Qadir Jailani (1-2)

PENGANTAR
(Petikan surat Syeikh Abdul Qadir al-Jilani)
Sahabat-sahabatku yang dikasihi. Hati kamu adalah seumpama cermin yang berkilat. Kamu mesti membersihkannya daripada debu dan kekotoran yang menutupinya. Cermin hati kamu itu telah ditakdirkan untuk memancarkan cahaya rahsia-rahsia Ilahi.

Bila cahaya dari “ Allah adalah cahaya bagi semua langit dan bumi… ” mula menyinari ruang hati kamu, lampu hati kamu akan menyala. Lampu hati itu “berada di dalam kaca, kaca itu sifatnya seumpama bintang berkilau-kilauan terang benderang…”

Kemudian kepada hati itu anak panah penemuan-penemuan suci akan hinggap. Anak panah kilat akan mengeluarkan daripada awan petir maksud “bukan dari timur atau barat, dinyalakan dari pohon zaitun yang diberkati…” dan memancarkan cahaya ke atas pokok penemuan, sangat tulen, sangat lutsinar sehingga ia “memancarkan cahaya walaupun tidak disentuh oleh api”.

Kemudian lampu makrifat (hikmah kebijaksanaan) akan menyala sendiri. Mana mungkin ia tidak menyala sedangkan cahaya rahsia Allah menyinarinya?

Sekiranya cahaya rahasia Ilahi bersinar ke atasnya, langit malam kepada rahsia-rahsia akan menjadi terang oleh ribuan bintang-bintang “…dan berpandukan bintang-bintang (kamu) temui jalan (kamu)…” . Bukanlah bintang yang memandu kita tetapi cahaya Ilahi. Lantaran Allah “…menghiaskan langit rendah dengan keindahan bintang-bintang”. Sekiranya lampu rahsia-rahsia Ilahi dinyalakan di dalam diri batin kamu yang lain akan datang secara sekaligus atau beransur-ansur.

Sebahagiannya kamu telah ketahui sebahagian yang lain akan kami beritahu di sini. Baca, dengar, cuba fahamkan. Langit ketidaksedaran (kelalaian) yang gelap akan dinyalakan oleh kehadiran Ilahi dan kedamaian serta keindahan bulan purnama yang akan naik dari ufuk langit memancarkan “cahaya di atas cahaya” berterusan meninggi di langit, melepasi peringkat yang ditentukan sebagaimana yang Allah telah tentukan bagi kerajaan-Nya, sehingga ia bersinar penuh kemuliaan di tengah-tengah langit, menghambat kegelapan kelalaian. “(Aku bersumpah) demi malam apabila ia senyap sepi…dengan cuaca pagi yang cemerlang…” malam ketidaksedaran kamu akan melihat terangnya hari siang. Kemudian kamu akan menghirup air wangi kenangan dan “bertaubat di awal pagi” terhadap ketidaksedaran (kelalaian) dan menyesali umur kamu yang dihabiskan di dalam lena. Kamu akan mendengar nyanyian burung bulbul di pagi hari dan kamu akan mendengarnya berkata:

Mereka tidur sedikit sahaja di malam hari dan pada awal pagi mereka memohon keampunan Allah Allah bimbangkan kepada cahaya-Nya sesiapa yang Dia kehendaki.

Kemudian kamu akan melihat di ufuk langit peraturan Ilahi akan matahari ilmu batin mula terbit. Ia adalah matahari kamu sendiri, Lantaran kamu adalah “yang Allah beri petunjuk” dan kamu “berada pada jalan yang benar” dan bukan “mereka yang Dia tinggalkan di dalam kesesatan”. Dan kamu akan memahami rahsia:
Tidak diizinkan matahari mengejar bulan dan tidak pula malam mendahului siang. Tiap sesuatu berjalan pada landasan (masing-masing).

Akhirnya ikatan akan terurai selaras dengan “perumpamaan yang Allah adakan untuk insan dan Allah mengetahui tiap sesuatu”, dan tabir-tabir akan terangkat dan kulit akan pecah, mendedahkan yang seni di bawah pada yang kasar. Kebenaran akan membuka tutupan mukanya.

Semua ini akan bermula bila cermin hati kamu dipersucikan. Cahaya rahsia-rahsia Ilahi akan memancar Padanya jika kamu berhajat dan bermohon kepada-Nya, daripada-Nya, dengan-Nya.

PENGENALAN
Segala puji dan puja untuk Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang . Dia yang mengumpul segala pengetahuan di dalam Zat-Nya dan Dia jualah Pencipta segala pengetahuan dengan keabadian. Segala kewujudan bersumberkan Wujud-Nya. Segala puji bagi Allah lantaran

Dia menghantarkan Quran yang mulia yang mengandungi di dalamnya sebab-sebab ia diturunkan iaitu untuk memperingatkan manusia tentang Allah. Dihantarkan-Nya kepada pembimbing yang memandu manusia pada jalan yang benar dengan yang paling Perkasa di antara agama-agama. Selawat dan salam ke atas Nabi Muhammad s.a.w yang tidak diajar oleh makhluk tetapi diajar oleh-Nya sendiri. Baginda s.a.w adalah nabi-Nya yang terakhir, penyambung terakhir pada rantaian kenabian yang diutus kepada dunia yang sedang hanyut di dalam huru hara, yang paling mulia di kalangan nabi-nabi-Nya, dimuliakan dengan kitab suci yang paling suci dan paling mulia. Keturunan baginda s.a.w adalah pembimbing bagi orang-orang yang mencari. Sahabat-sahabat baginda s.a.w adalah pilihan dari kalangan orang yang baik-baik dan murah hati. Semoga kesejahteraan dan keberkatan yang melimpah-limpah dikurniakan kepada ruh-ruh mereka.

Tentu sekali yang paling berharga di antara yang berharga, paling tinggi, permata yang tidak ternilai, barang perniagaan yang paling menguntungkan manusia, adalah ilmu pengetahuan. Hanya dengan hikmah kebijaksanaan kita boleh mencapai keesaan Allah, Tuhan sekalian alam. Hanya dengan hikmah kebijaksanaan kita boleh mengikuti rasul-rasul-Nya dan nabi-nabi-Nya.

Orang yang berpengetahuan, yang bijaksana, adalah hamba-hamba Allah yang tulen yang Dia pilih untuk menerima perutusan Ilahi. Dia lebihkan mereka daripada yang lain semata-mata dengan kebaikan rahmat-Nya yang Dia curahkan kepada mereka. Mereka adalah pewaris nabi-nabi, pembantu-pembantu mereka, yang dipilih oleh rasul-rasul-Nya untuk menjadi khalifah kepada sekalian manusia. Mereka berhubungan dengan nabi-nabi dengan perasaan yang amat seni dan kebijaksanaan yang sangat tinggi.

Allah Yang Maha Tinggi memuji orang-orang yang memiliki hikmah kebijaksanaan:
“Kemudian Kami wariskan Kitab itu kepada mereka yang Kami pilih daripada hamba-hamba Kami, tetapi sebahagian daripada mereka menganiayai diri mereka sendiri, dan sebahagian daripada mereka cermat, dan sebahagian daripada mereka ke hadapan dalam kebajikan-kebajikan dengan izin Allah, yang demikian adalah kurniaan yang besar”. ( Surah Fatir, ayat 32).

Nabi Muhammad s.a.w bersabda, “Pemegang hikmah kebijaksanaan adalah pewaris nabi-nabi. Penduduk langit mengasihi mereka dan di atas muka bumi ini ikan-ikan di laut bertasbih untuk mereka hingga kepada hari kiamat”.

Dalam ayat lain Allah Yang Maha Tinggi berfirman:
“Tidak takut kepada Allah daripada hamba-hamba-Nya melainkan orang-orang yang berilmu Pengetahuan” (Surah Fatir, ayat 28).

Nabi Muhammad s.a.w bersabda, “Pada hari pembalasan, Allah akan mengumpulkan sekalian manusia, kemudian mengasingkan yang berilmu di antara mereka dan berkata kepada mereka: ‘Wahai orang-orang yang berilmu. Aku kurniakan kepada kamu ilmu-Ku kerana Aku mengenali kamu. Tidak aku kurniakan hikmah kebijaksanaan kepada kamu untuk Aku hukumkan kamu pada hari ini. Masuklah ke dalam syurga-syurga-Ku. Aku telah ampunkan kamu' ”.

Segala puji milik Allah, Tuhan sekalian alam lantaran Dia kurniakan makam yang tinggi kepada hamba-hamba-Nya yang taat dan memelihara mereka daripada dosa dan menyelamatkan mereka daripada diseksa. Dia berkati ahlul hikmah dengan menghampiri mereka.

Sebahagian daripada murid-murid kami meminta supaya kami sediakan sebuah buku yang memadai buat mereka. Sesuai dengan permintaan dan keperluan mereka kami siapkan buku yang ringkas ini Semoga ia dapat mengubati dan memuaskan mereka serta yang lain juga. Kami namakan buku ini “ Sirr al-asrar fi ma yahtaju Ilahi al-abrar ” atau “rahasia dalam rahasia-rahasia yang Kebenarannya sangat diperlukan”. Dalam pekerjaan ini kenyataan di dalam kepercayaan dan perjalanan kami dibukakan. Setiap orang memerlukannya.
Dalam menyampaikan hasil kerja ini kami bahagikannya kepada 24 bab kerana terdapat 24 huruf di dalam pengakuan suci “La ilaha illah Llah, Muhammadun rasulu Llah” dan juga terdapat 24 jam dalam satu hari.

Sirrul Assrar-Syeikh Abdul Qadir Jailani (3)

3: PERMULAAN PENCIPTAAN
Semoga Allah s.w.t memberikan kamu kejayaan di dalam amalan-amalan kamu yang disukai-Nya dan Semoga kamu memperolehi keredaan-Nya. Fikirkan, tekankan kepada pemikiran kamu dan fahamkan apa yang aku katakan.

Allah Yang Maha Tinggi pada permulaannya menciptakan cahaya Muhammad daripada cahaya suci Keindahan-Nya. Dalam hadis Qudsi Dia berfirman: “Aku ciptakan ruh Muhammad daripada cahaya Wajah-Ku”.

Ini dinyatakan juga oleh Nabi Muhammad s.a.w dengan sabdanya:
“Mula-mula Allah ciptakan ruhku. Pada permulaannya diciptakan-Nya sebagai ruh suci”.
“Mula-mula Allah ciptakan qalam”.
“Mula-mula Allah ciptakan akal”.
Apa yang dimaksudkan sebagai ciptaan permulaan itu ialah ciptaan hakikat kepada Nabi Muhammad s.a.w, Kebenaran tentang Muhammad yang tersembunyi. Dia juga diberi nama yang indah-indah. Dia dinamakan nur, cahaya suci, kerana dia dipersucikan dari kegelapan yang tersembunyi di bawah sifat jalal Allah. Allah Yang Maha Tinggi berfirman: “Sesungguhnya telah datang kepada kamu dari Allah, cahaya dan kitab yang menerangkan”. (Al-Maaidah, ayat 15)

Dia dinamakan akal yang meliputi (akal universal) kerana dia telah melihat dan mengenali segala-galanya. Dia dinamakan qalam kerana dia menyebarkan hikmah dan ilmu dan dia mencurahkan ilmu ke dalam huruf-huruf.

Roh Muhammad adalah zat atau hakikat kepada segala kejadian, permulaan dan kenyataan alam maya. Baginda s.a.w menyatakan hal ini dengan sabdanya, “Aku daripada Allah dan sekalian yang lain daripadaku” . Allah Yang Maha Tinggi menciptakan sekalian roh-roh daripada roh baginda s.a.w di dalam alam kejadian yang pertama, dalam bentuk yang paling baik. ‘Muhammad' adalah nama kepada sekalian kemanusiaan di dalam alam arwah. Dia adalah sumber, asal usul dan kediaman bagi sesuatu dan segala-galanya.

Empat ribu tahun selepas diciptakan cahaya Muhammad, Allah ciptakan arasy daripada cahaya mata Muhammad. Dia ciptakan makhluk yang lain daripada arasy. Kemudian Dia hantarkan roh-roh turun kepada peringkat penciptaan yang paling rendah, kepada alam kebendaan, alam jirim dan badan.

“Kemudian Kami turunkan ia kepada peringkat yang paling rendah” . (Surah Tin, ayat 15)
Dia hantarkan cahaya itu daripada tempat ia diciptakan, dari alam lahut, iaitu alam kenyataan bagi Zat Allah, bagi keesaan, bagi wujud mutlak, kepada alam nama-nama Ilahi, kenyataan sifat-sifat Ilahi, alam bagi akal asbab kepunyaan roh yang meliputi (roh universal). Di sana Dia pakaikan roh-roh itu dengan pakaian cahaya. Roh-roh ini dinamakan ‘roh pemerintah'. Dengan berpakaian cahaya mereka turun kepada alam malaikat. Di sana mereka dinamakan ‘roh rohani'. Kemudian Dia arahkan mereka turun kepada alam kebendaan, alam jirim, air dan api, tanah dan angin dan mereka menjadi ‘roh manusia'. Kemudian daripada dunia ini Dia ciptakan tubuh yang berdaging, berdarah.

“Kemudian Kami jadikan kamu dan kepadanya kamu akan dikembalikan dan daripadanya kamu akan dibangkitkan sekali lagi”. (Surah Ta Ha, ayat 55)

Selepas peringkat-peringkat ini Allah memerintahkan roh-roh supaya memasuki badan-badan dan dengan kehendak-Nya mereka pun masuk.

“Maka apabila Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiup padanya roh-Ku…”. (Surah Shad, ayat 72)
Sampai masanya roh-roh itu terikat dengan badan, dengan darah dan daging dan lupa kepada asal usul kejadian dan perjanjian mereka. Mereka lupa tatkala Allah ciptakan mereka pada alam arwah Dia telah bertanya kepada mereka: “Adakah aku Tuhan kamu? Mereka telah menjawab:Iya, bahkan!.”

Mereka lupa kepada ikrar mereka. Mereka lupa kepada asal usul mereka, lupa juga kepada jalan untuk kembali kepada tempat asal mereka. Tetapi Allah Maha Penyayang, Maha Pengampun, sumber kepada segala keselamatan dan pertolongan bagi sekalian hamba-hamba-Nya. Dia mengasihani mereka lalu Dia hantarkan kitab-kitab suci dan rasul-rasul kepada mereka untuk mengingatkan mereka tentang asal usul mereka.

“Dan Sesungguhnya Kami telah utuskan Musa (membawa) ayat-ayat Kami (sambil Kami mengatakan): hendaklah kamu keluarkan kaum kamu dari kegelapan kepada cahaya, dan ingatkan mereka kepada hari-hari Allah”. (Surah Ibrahim, ayat 5)

Yaitu ‘ingatkan roh-roh tentang hari-hari di mana mereka tidak terpisah dengan Allah'.

Ramai rasul-rasul telah datang ke dunia ini, melaksanakan tugas mereka dan kemudian meninggalkan dunia ini. Tujuan semua itu adalah membawa kepada manusia perutusan, peringatan serta menyedarkan manusia dari kelalaian mereka. Tetapi mereka yang mengingati-Nya, yang kembali kepada-Nya, manusia yang ingin kembali kepada asal usul mereka, menjadi semakin berkurangan dan terus berkurangan ditelan zaman.

Nabi-nabi terus diutuskan dan perutusan suci berterusan sehingga muncul roh Muhammad yang mulia, yang terakhir di kalangan nabi-nabi, yang menyelamatkan manusia daripada kehancuran dan kelalaian. Allah Yang Maha Tinggi mengutuskannya untuk membuka mata manusia iaitu membuka mata hati yang ketiduran. Tujuannya ialah mengejutkan manusia dari kelalaian dan ketidaksedaran dan untuk menyatukan mereka dengan keindahan yang abadi, dengan penyebab, dengan Zat Allah. Allah berfirman: “Katakan: Inilah jalanku yang aku dan orang-orang yang mengikuti daku kepada Allah dengan pandangan yang jelas (basirah)”. (Surah Yusuf, ayat 108).

Ia menyatakan jalan Nabi Muhammad s.a.w. Baginda s.a.w dalam menunjukkan tujuan kita telah bersabda, “Sahabat-sahabatku adalah umpama bintang di langit. Sesiapa daripada mereka yang kamu ikuti kamu akan temui jalan yang benar”.

Pandangan yang jelas (basirah) datangnya daripada mata kepada roh. Mata ini terbuka di dalam jantung hati orang-orang yang hampir dengan Allah, yang menjadi sahabat Allah. Semua ilmu di dalam dunia ini tidak akan mendatangkan pandangan dalam (basirah). Seseorang itu memerlukan pengetahuan yang datangnya daripada alam ghaib yang tersembunyi pengetahuan yang mengalir daripada kesedaran Ilahi.
“Dan Kami telah ajarkan kepadanya satu ilmu dari sisi Kami (ilmu laduni)”. (Surah Kahfi, ayat 65).
Apa yang perlu seseorang lakukan ialah mencari orang yang mempunyai pandangan dalam (basirah) yang mata hatinya celik, dan cetusan serta perangsang daripada orang yang seperti ini adalah perlu. Guru yang demikian, yang dapat memupuk pengetahuan orang lain, mestilah seorang yang hampir dengan Allah dan berupaya menyaksikan alam mutlak.

Wahai anak-anak Adam, saudara-saudara dan saudari-saudari! Bangunlah dan bertaubatlah kerana melalui taubat kamu akan memohon kepada Tuhan agar dikurniakan-Nya kepada kamu hikmah-Nya. Berusaha dan berjuanglah. Allah memerintahkan:

“Dan berlumba-lumbalah kepada keampunan Tuhan kamu dan syurga yang lebarnya (seluas) langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang berbakti. Yang menderma di waktu senang dan susah, dan menahan marah, dan memaafkan manusia, dan Allah kasih kepada mereka yang berbuat kebajikan”. (Surah Imraan, ayat 133 & 134).

Masuklah kepada jalan itu dan bergabunglah dengan kafilah kerohanian untuk kembali kepada Tuhan kamu. Pada satu masa nanti jalan tersebut tidak dapat dilalui lagi dan pengembara pada jalan tersebut tidak ada lagi. Kita tidak datang ke bumi ini untuk merosakkan dunia ini. Kita dihantar ke mari bukan untuk makan, minum dan berak. Roh penghulu kita menyaksikan kita. Baginda s.a.w berdukacita melihat keadaan kamu. Baginda s.a.w telah mengetahui apa yang akan berlaku kemudian hari apabila baginda s.a.w bersabda, “Dukacitaku adalah untuk umat yang aku kasihi yang akan datang kemudian”.

Apa sahaja yang datang kepada kamu datang dalam keadaan salah satu bentuk, secara nyata atau tersembunyi; nyata dalam bentuk peraturan syarikat dan tersembunyi dalam bentuk hikmah kebijaksanaan atau makrifat. Allah Yang Maha Tinggi memerintahkan kita supaya mensejahterakan zahir kita dengan mematuhi peraturan syarikat dan meletakkan batin kita dalam keadaan yang baik dan teratur dengan memperolehi hikmah kebijaksanaan atau makrifat. Bila zahir dan batin kita menjadi satu dan hikmah kebijaksanaan atau makrifat dengan peraturan agama (syarikat) bersatu, seseorang itu sampai kepada makam yang sebenarnya (hakikat).

“Dia alirkan dua laut, padahal kedua-duanya bertemu. Antara dua itu ada dinding yang kedua-duanya tidak mampu melewatinya”. (Surah Imraan, ayat 19 & 20).

Kedua-duanya mesti menjadi satu. Kebenaran atau hakikat tidak akan diperolehi dengan hanya menggunakan pengetahuan melalui pancaindera dan deria-deria tentang alam kebendaan. Dengan cara tersebut tidak mungkin mencapai matlamat, sumber, iaitu Zat. Ibadat dan penyembahan memerlukan kedua-duanya iaitu peraturan syarikat dan makrifat. Allah berfirman tentang ibadat: “Dan tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdikan diri kepada-Ku”. (Surah Dzaariyat, ayat 56).

Dalam lain perkataan, ‘mereka diciptakan supaya mengenali Daku' . Jika seseorang tidak mengenali-Nya bagaimana dia boleh memuji-Nya dengan sebenar-benarnya, meminta pertolongan-Nya dan berkhidmat kepada-Nya?

Makrifat yang diperlukan bagi mengenali-Nya boleh dicapai dengan menyingkap tabir hitam yang menutupi cermin hati seseorang, menyucikannya sehingga bersih dan menggilapkannya sehingga bercahaya. Kemudian perbendaharaan keindahan yang tersembunyi akan memancar pada rahasia cermin hati.

Allah Yang Maha Tinggi telah berfirman melalui rasul-Nya: “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku suka dikenali, lalu Aku ciptakan makhluk supaya Aku dikenali”.

Tujuan suci diciptakan manusia ialah supaya mereka mengenali Allah, memperolehi makrifat.
Ada dua peringkat makrifat yang suci. Seseorang itu perlu mengenali sifat-sifat Allah dan dalil-dalil yang menjadi kenyataan atau penzahiran bagi sifat-sifat tersebut. Satu lagi ialah mengenali Zat Allah. Di dalam mengenali sifat-sifat Allah manusia secara zahirnya dapat menikmati kedua-duanya iaitu dunia dan akhirat. Makrifat yang memimpin kepada Zat Allah tidak diperolehi dengan diri zahir manusia. Ia terjadi di dalam jiwa atau roh suci manusia yang berada di dalam dirinya yang zahir ini.

“Dan Kami telah perkuatkan dia (Isa) dengan roh kudus”. (Surah Baqarah, ayat 87).
Orang yang mengenali Zat Allah menemui kuasa ini melalui roh kudus (suci) yang dikurniakan kepada mereka.

Kedua-dua makrifat tersebut diperolehi dengan hikmah kebijaksanaan yang mempunyai dua aspek; hikmah kebijaksanaan kerohanian yang di dalam dan pengetahuan zahir tentang benda-benda nyata. Kedua-duanya diperlukan untuk mendapatkaan kebaikan. Nabi s.a.w bersabda, “Pengetahuan ada dua bahagian. Satu pada lidah yang menjadi dalil tentang kewujudan Allah, satu lagi di dalam hati manusia. Inilah yang diperlukan bagi melaksanakan harapan kita”.

Pada peringkat permulaannya seseorang itu memerlukan pengetahuan syarikat. Ini memerlukan pendidikan yang mengenalkan dalil-dalil luar tentang Zat Allah yang menyata di dalam alam sifat-sifat dan nama-nama ini. Apabila bidang ini telah sempurna sampailah giliran pendidikan kerohanian tentang rahasia-rahasia, di mana seseorang itu masuk ke dalam bidang makrifat yang murni untuk mengetahui yang sebenarnya (hakikat). Pada peringkat yang pertama seseorang itu mestilah meninggalkan segala-galanya yang tidak dipersetujui oleh syariat malah, kesilapan di dalam melakukan perbuatan yang baik mestilah dihapuskan. Perbuatan yang baik mestilah dilakukan dengan cara yang betul, sebagaimana keperluan pada jalan sufi. Keadaan ini boleh dicapai dengan melatihkan diri dengan melakukan perkara-perkara yang tidak dipersetujui oleh ego diri sendiri dan melakukan amalan yang bertentangan dengan kehendak hawa nafsu. Berhati-hatilah di dalam beramal agar amalan itu dilakukan bukan untuk dipertontonkan atau diperdengarkan kepada orang lain. Semuanya mestilah dilakukan semata-mata kerana Allah, demi mencari keredaan-Nya.

Allah berfirman:
“Barangsiapa berharap menemui Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan amal salih dan janganlah dia mempersekutukan sesuatu dengan Allah dalam ibadatnya kepada Tuhannya”. (Surah Kahfi, ayat 110).

Apa yang dihuraikan sebagai daerah makrifat itu adalah tahap penghabisan bagi daerah kejadian yang pertama. Ia adalah permulaan dan merupakan rumah yang setiap orang kembali ke sana . Di samalah roh suci dijadikan. Apa yang dimaksudkan dengan roh suci adalah roh insan. Ia dijadikan dalam bentuk yang paling baik.

Kebenaran atau hakikat tersebut telah ditanam di tengah-tengah hati sebagai amanah Allah, diamanahkan kepada manusia agar disimpan dengan selamat. Ia bangkit dan menyata melalui taubat yang sungguh-sungguh dan usaha sebenar mempelajari agama. Keindahannya akan memancar ke permukaan apabila seseorang itu mengingati Allah terus menerus, mengulangi kalimah “La ilaha illah Llah” . Pada mulanya kalimah ini diucapkan dengan lidah. Bila hati sudah hidup ia diucapkan di dalam, dengan hati.

Sufi menggambarkan keadaan kerohanian yang demikian dengan menganggapnya sebagai bayi, iaitu bayi yang lahir di dalam hati, dibela dan dibesarkan di sana . Hati memainkan peranan seperti ibu, melahirkannya, menyusun, memberi makan dan memeliharanya. Jika anak-anak diajarkan kepakaran keduniaan untuk kebaikannya, bayi hati pula diajarkan makrifat rohani. Sebagaimana kanak-kanak bersih daripada dosa, bayi hati adalah tulen, bebas daripada kelalaian, ego dan ragu-ragu. Kesucian bayi biasanya menyata dalam bentuk zahir yang cantik. Dalam mimpi, kesucian dan ketulenan bayi hati muncul dalam rupa malaikat. Manusia berharap mendapat ganjaran syurga sebagai balasan kepada perbuatan baik tetapi hadiah-hadiah yang didatangi dari syurga didatangkan ke mari melalui tangan-tangan bayi hati.

“Dalam kebun-kebun kenikmatan…melayani mereka anak-anak muda yang tidak berubah keadaan mereka”. (Surah Waqi'ah, ayat 12 – 17 ).
“Melayani mereka adalah anak-anak muda laksana mutiara yang tersimpan”. (Surah Tur, ayat 24).

Mereka adalah anak-anak kepada hati, menurut yang diilhamkan kepada sufi, dipanggil anak-anak kerana keelokan dan ketulenan mereka. Keindahan dan ketulenan mereka menyata dalam kewujudan zahir, dalam darah daging, dalam bentuk manusia. Oleh kerana keelokan dan kelembutan sifatnya ia dinamakan anak-anak hati, tetapi dia adalah manusia sejati yang mampu mengubah bentuk kejadian atau ciptaan kerana dia berhubung erat dengan Pencipta sendiri. Dia adalah wakil sebenar kemanusiaan. Di dalam kesedarannya tidak ada sesuatu malah dia tidak melihat dirinya sebagai sesuatu. Tiada hijab, tiada halangan di antara kewujudannya dengan Zat Allah.

Nabi Muhammad s.a.w menggambarkan suasana demikian sebagaimana sabda baginda s.a.w, “ Ada masa aku dengan Allah di mana tiada malaikat yang hampir dan tidak juga nabi yang diutus”. Maksud ‘nabi' di sini ialah kewujudan lahiriah yang sementara bagi Rasulullah s.a.w sendiri. Malaikat yang paling hampir dengan Allah ialah cahaya suci Muhammad s.a.w, kejadian pertama. Dalam suasana kerohanian itu baginda s.a.w sangat hampir dengan Allah sehingga wujud zahirnya dan rohnya tidak berkesempatan menghijabkannya dengan Allah. Baginda s.a.w menggambarkan lagi suasana demikian, “ Ada syurga Allah yang tidak ada mahligai dan taman-taman atau sungai madu dan susu, syurga yang di dalamnya seseorang hanya menyaksikan Wajah Allah Yang Maha Suci” . Allah s.w.t berfirman: “Beberapa muka pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya dia memandang”. (Surah Qiamat, ayat 22 & 23).

Pada suasana atau makam tersebut jika seseorang makhluk termasuklah malaikat mendekatinya kewujudan badannya akan terbakar menjadi abu. Allah s.w.t berfirman melalui rasul-Nya: “Jika Aku bukakan penutup sifat keperkasaan-Ku dengan bukaan yang sangat sedikit sahaja, semua akan terbakar sejauh yang dilihat oleh pandangan-Ku”.

Jibrail yang menemani Nabi Muhamamd s.a.w pada malam mikraj, apabila sampai di Sidratul Muntaha, telah mengatakan jika dia melangkah satu langkah sahaja lagi dia akan terbakar menjadi abu

Sirrul Assrar-Syeikh Abdul Qadir Jailani (4-5)

4.MANUSIA KEMBALI KE KAMPUNG HALAMAN, KEPADA ASAL USUL / PERMULAAN MEREKA

Manusia dipandang daripada dua sudut; wujud lahiriah dan wujud rohani. Dalam segi kewujudan lahiriah keadaan kebanyakan manusia adalah berlebih kurang saja di antara satu sama lain. Oleh yang demikian peraturan kemanusiaan yang umum boleh digunakan untuk sekalian manusia bagi urusan lahiriah mereka. Dalam sudut kewujudan rohani yang tersembunyi di sebalik wujud lahiriah, setiap manusia adalah berbeda. Jadi, peraturan yang khusus mengenai diri masing-masing diperlukan.

Manusia boleh kembali kepada asalnya dengan mengikuti peraturan umum, dengan mengambil langkah-langkah tertentu. Dia mestilah mengambil peraturan agama yang jelas dan mematuhinya. Dengan demikian dia boleh maju ke hadapan. Dia boleh meningkat dari satu peringkat kepada peringkat yang lebih tinggi sehingga dia sampai dan memasuki jalan atau peringkat kerohanian, masuk ke daerah makrifat. Peringkat ini sangat tinggi dan dipuji oleh Rasulullah s.a.w, “ Ada suasana yang semua dan segala-galanya berkumpul di sana dan ia adalah makrifat yang murni”.

Untuk sampai ke peringkat tersebut Perlulah dibuang kepura-puraan dan kepalsuan yang melakukan kebaikan kerana menunjuk-nunjuk. Kemudian dia perlu menetapkan tiga matlamat. Tiga matlamat tersebut sebenarnya adalah tiga jenis syurga.

Yang pertama dinamakan Ma'wa – syurga tempat kediaman yang aman. Ia adalah syurga duniawi. Kedua, Na'im – taman keredaan Allah dan kurniaan-Nya kepada makhluk-Nya.

Ia adalah syurga di dalam alam malaikat. Ketiga dinamakan Firdaus – syurga alam tinggi. Ia adalah syurga pada alam kesatuan akal asbab, rumah kediaman bagi roh-roh, medan bagi nama-nama dan sifat-sifat. Kesemua ini adalah balasan yang baik, keelokan Allah yang manusia berjasad akan nikmati dalam usahanya sepanjang tiga peringkat ilmu pengetahuan yang berturut-turut; usaha mematuhi peraturan syariat; usaha menghapuskan yang berbilang-bilang pada dirinya, melawan penyebab yang menimbulkan suasana berbilang-bilang itu, iaitu ego diri sendiri, bagi mencapai peringkat penyatuan dan kehampiran dengan Pencipta; akhirnya usaha untuk mencapai makrifat, di mana dia mengenali Tuhannya. Peringkat pertama dinamakan syariat, kedua tarekat dan ketiga makrifat.

Nabi Muhammad s.a.w menyimpulkan keadaan-keadaan tersebut dengan sabda baginda s.a.w, “ Ada suasana di mana semua dan segala-galanya dikumpulkan dan ia adalah hikmah kebijaksanaan (makrifat)”. Baginda s.a.w juga bersabda, “Dengannya seseorang mengetahui kebenaran (hakikat), yang berkumpul di dalamnya sebab-sebab dan semua kebaikan. Kemudian seseorang itu mesti bertindak atas kebenaran (hakikat) tersebut. Dia juga perlu mengenali kepalsuan dan bertindak ke atasnya dengan meninggalkan segala yang demikian”. Baginda s.a.w mendoakan, “Ya Allah, tunjukkan kepada kami yang benar dan jadikan pilihan kami mengikuti yang benar itu. Dan juga tunjukkan kepada kami yang tidak benar dan permudahkan kami meninggalkannya”. Orang yang kenal dirinya dan menentang keinginannya yang salah dengan segala kekuatannya akan sampai kepada mengenali Tuhannya dan akan menjadi taat kepada kehendak-Nya.

Semua ini adalah peraturan umum yang mengenai diri zahir manusia. Kemudian ada pula aspek diri rohani atau diri batin manusia yang merupakan insan yang tulen, suci bersih dan murni. Maksud dan tujuan diri ini hanya satu iaitu kehampiran secara keseluruhan kepada Allah s.w.t. Satu cara sahaja untuk mencapai suasana yang demikian, iaitu pengetahuan tentang yang sebenarnya (hakikat). Di dalam daerah wujud penyatuan mutlak, pengetahuan ini dinamakan kesatuan atau keesaan.

Matlamat pada jalan tersebut harus diperolehi di dalam kehidupan ini. Di dalam suasana itu tiada beza di antara tidur dengan jaga kerana di dalam tidur roh berkesempatan membebaskan dirinya untuk kembali kepada asalnya, alam arwah, dan dari sana kembali semula ke sini dengan membawa berita-berita dari alam ghaib. Fenomena ini dinamakan mimpi. Dalam keadaan mimpi ia berlaku secara sebahagian-bahagian. Ia juga boleh berlaku secara menyeluruh seperti israk dan mikraj Rasulullah s.a.w. Allah berfirman: “Allah memegang jiwa-jiwa ketika matinya dan yang tidak mati, dalam tidurnya, lalu Dia tahan yang dihukumkan mati atasnya dan Dia lepaskan yang lain”. (Surah Zumaar, ayat 42).

Nabi s.a.w bersabda, “Tidur orang alim lebih baik daripada ibadat orang jahil” . Orang alim adalah orang yang telah memperolehi pengetahuan tentang hakikat atau yang sebenar, yang tidak berhuruf, tidak bersuara. Pengetahuan demikian diperolehi dengan terus menerus berzikir nama keesaan Yang Maha Suci dengan lidah rahsia. Orang alim adalah orang yang zat dirinya ditukarkan kepada cahaya suci oleh cahaya keesaan. Allah berfirman melalui rasul-Nya: “Insan adalah rahsia-Ku dan Aku rahsianya. Pengetahuan batin tentang hakikat roh adalah rahsia kepada rahsia-rahsia-Ku. Aku campakkan ke dalam hati hamba-hamba-Ku yang baik-baik dan tiada siapa tahu Keadaannya melainkan Aku.”

“Aku adalah sebagaimana hamba-Ku mengenali Daku. Bila dia mencari-Ku dan ingat kepada-Ku, Aku besertanya. Jika dia mencari-Ku di dalam, Aku mendapatkannya dengan Zat-Ku. Jika dia ingat dan menyebut-Ku di dalam jemaah yang baik, Aku ingat dan menyebutnya di dalam jemaah yang lebih baik”.
Segala yang dikatakan di sini jika berhasrat mencapainya perlulah melakukan tafakur – cara mendapatkaan pengetahuan yang demikian jarang digunakan oleh orang ramai. Nabi s.a.w bersabda, “Satu saat bertafakur lebih bernilai daripada satu tahun beribadat”. “Satu saat bertafakur lebih bernilai daripada tujuh puluh tahun beribadat”. “Satu saat bertafakur lebih bernilai daripada seribu tahun beribadat”.
Nilai sesuatu amalan itu tersembunyi di dalam hakikat kepada yang sebenarnya. Perbuatan bertafakur di sini nampaknya mempunyai nilai yang berbeda.

Sesiapa merenungi sesuatu perkara dan mencari penyebabnya dia akan mendapati setiap bahagian mempunyai bahagian-bahagian sendiri dan dia juga mendapati setiap satu itu menjadi penyebab kepada berbagai-bagai perkara lain. Renungan begini bernilai satu tahun ibadat.

Sesiapa merenungi kepada pengabdiannya dan mencari penyebab dan alasan dan dia dapat mengetahui yang demikian, renungannya bernilai lebih daripada tujuh puluh tahun ibadat.

Sesiapa merenungkan hikmah kebijaksanaan Ilahi dan bidang makrifat dengan segala kesungguhannya untuk mengenal Allah Yang Maha Tinggi, renungannya bernilai lebih daripada seribu tahun ibadat kerana ini adalah ilmu pengetahuan yang sebenarnya.

Pengetahuan yang sebenarnya adalah suasana keesaan. Orang arif yang menyintai menyatu dengan yang dicintainya. Daripada alam kebendaan terbang dengan sayap kerohanian meninggi hingga kepada puncak pencapaian. Bagi ahli ibadat berjalan di dalam syurga, sementara orang arif terbang kepada kedudukan berhampiran dengan Tuhannya. Para pencinta mempunyai mata pada hati mereka mereka memandang sementara yang lain terpejam sayap yang mereka miliki tanpa daging tanpa darah mereka terbang ke arah malaikat Tuhan jualah yang dicari!

Penerbangan ini terjadi di dalam alam kerohanian orang arif. Para arifbillah mendapat penghormatan dipanggil insan sejati, menjadi kekasih Allah, sahabat-Nya yang akrab, pengantin-Nya. Bayazid al-Bustami berkata, “Para Pemegang makrifat adalah pengantin Allah Yang Maha Tinggi”.

Hanya pemilik-pemilik ‘pengantin yang pengasih' mengenali mereka dengan dekat dan secara mesra.. Orang-orang arif yang menjadi sahabat akrab Allah, walaupun sangat cantik, tetapi ditutupi oleh keadaan luaran yang sangat sederhana, seperti manusia biasa. Allah berfirman melalui rasul-Nya: “ Para sahabat-Ku tersembunyi di bawah kubah-Ku. Tiada yang mengenali mereka kecuali Aku”.

Kubah yang di bawahnya Allah sembunyikan sahabat-sahabat akrab-Nya adalah keadaan mereka yang tidak terkenal, rupa yang biasa sahaja, sederhana dalam segala hal. Bila melihat kepada pengantin yang ditutupi oleh tabir perkahwinan, apakah yang dapat dilihat kecuali tabir itu?

Yahya bin Muadh al-Razi berkata, “ Para kekasih Allah adalah air wangi Allah di dalam dunia. Tetapi hanya orang-orang yang beriman yang benar dan jujur sahaja dapat menciumnya”. Mereka mencium keharuman baunya lalu mereka mengikuti bau itu. Keharuman itu mengwujudkan kerinduan terhadap Allah dalam hati mereka. Masing-masing dengan cara tersendiri mempercepatkan langkahnya, menambahkan usaha dan ketaatannya. Darjah kerinduannya, keinginannya dan kelajuan perjalanannya bergantung kepada berapa ringan beban yang dibawanya, sejauh mana dia telah melepaskan diri kebendaan dan keduniaannya. Semakin banyak seseorang itu menanggalkan pakaian dunia yang kasar ini semakin dia merasakan kehangatan. Penciptanya dan semakin hampirlah kepada permukaan akan muncul diri rohaninya. Kehampiran dengan yang sebenar (hakikat) bergantung kepada sejauh mana seseorang itu melepaskan kebendaan dan keduniaan yang menipu daya.

Penanggalan aspek yang berbilang-bilang pada diri membawa seseorang hampir dengan satu-satunya kebenaran. Orang yang akrab dengan Allah adalah orang yang telah membawa dirinya kepada keadaan kekosongan. Hanya selepas itu baharulah dia dapat melihat kewujudan yang sebenarnya (hakikat). Tidak ada lagi kehendak pada dirinya untuk dia membuat sebarang pilihan. Tiada lagi ‘aku' yang tinggal, kecuali kewujudan satu-satunya iaitu yang sebenarnya (hakikat). Walaupun berbagai-bagai kekeramatan yang muncul melalui dirinya sebagai membuktikan kedudukannya, dia tidak ada kena mengena dengan semua itu. Di dalam suasananya tidak ada pembukaan terhadap rahsia-rahsia kerana membuka rahsia Ilahi adalah kekufuran.
Di dalam buku yang bertajuk “Mirsad” ada dituliskan, ‘Semua orang yang kekeramatan zahir melalui mereka adalah ditutup daripadanya dan tidak memperdulikan keadaan tersebut. Bagi mereka masa kekeramatan muncul melalui mereka dianggap sebagai masa perempuan keluar darah haid. Wali-wali yang hampir dengan Allah perlu mengembara sekurang-kurangnya seribu peringkat, yang pertamanya ialah pintu kekeramatan. Hanya mereka yang dapat melepasi pintu ini tanpa dicederakan akan meningkat kepada peringkat-peringkat lain yang lebih tinggi. Jika mereka leka mereka tidak akan sampai ke mana-mana

5: PENURUNAN MANUSIA KE PERINGKAT RENDAH YANG PALING BAWAH

Allah Yang Maha Tinggi menciptakan roh suci sebagai ciptaan yang paling sempurna , yang pertama diciptakan, di dalam alam kewujudan mutlak bagi Zat-Nya. Kemudian Dia berkehendak menghantarkannya kepada alam rendah. Tujuan Dia berbuat demikian ialah bagi mengajar roh suci mencari jalan kembali kepada yang sebenar di tahap Maha Kuasa, mencari kedudukannya yang dahulu yang hampir dan akrab dengan Allah. Dihantarkan-Nya roh suci kepada perhentian utusan-utusan-Nya, wali-wali-Nya, kekasih-kekasih dan sahabat-sahabat-Nya. Dalam perjalanannya, Allah menghantarkannya mula-mula kepada kedudukan akal asbab bagi keesaan, bagi roh universal, alam nama-nama dan sifat-sifat Ilahi, alam hakikat kepada Muhammad s.a.w. Roh suci memiliki dan membawa bersama-samanya benih kesatuan. Apabila melalui alam ini ia dipakaikan cahaya suci dan dinamakan ‘roh sultan'. Apaabila melalui alam malaikat yang menjadi perantaraan kepada mimpi-mimpi, ia mendapat nama ‘roh perpindahan'. Bila akhirnya ia turun kepada dunia kebendaan ini ia dibaluti dengan daging yang Allah ciptakan untuk kesesuaian makhluk-Nya. Ia dibaluti oleh jirim yang kasar bagi menyelamatkan dunia ini kerana dunia kebendaan jika berhubung secara langsung dengan roh suci maka dunia kebendaan akan terbakar menjadi abu. Dalam hubungannya dengan dunia ini ia dikenali sebagai kehidupan, roh manusia.

Tujuan roh suci dihantar ke tempat ciptaan yang paling rendah ini ialah supaya ia mencari jalan kembali kepada kedudukannya yang asal, makam kehampiran, ketika ia masih di dalam bentuk berdaging dan bertulang ini. Ia sepatutnya datang ke alam benda yang kasar ini, dan dengan melalui hatinya yang berada di dalam mayat ini, menanamkan benih kesatuan dan menunbuhkan pokok keesaan di dalam dunia ini. Akar pokok masih berada pada tempat asalnya. Dahannya memenuhi ruang kebahagiaan, dan di sana demi keredaan Allah, mengeluarkan buah kesatuan. Kemudian di dalam bumi hati roh itu menanamkan benih agama dan bercita-cita menumbuhkan pokok agama agar diperolehi buahnya, tiap satunya akan menaikkannya kepada peringkat yang lebih hampir dengan Allah.

Allah membuatkan jasad-jasad atau tubuh-tubuh untuk dimasuki oleh roh-roh dan bagi roh-roh ini masing-masing mempunyai nama yang berbeza-beza. Dia bena ruang penyesuaian di dalam tubuh. Diletakkan-Nya roh manusia, roh kehidupan di antara daging dan darah. Diletakkan-Nya roh suci di tengah-tengah hati, di mana dibena ruang bagi jirim yang sangat seni untuk menyimpan rahasia di antara Allah dengan hamba-Nya. Roh-roh ini berada pada tempat yang berbeda-beda dalam tubuh, dengan tugas yang berbeda, urusan yang berbeda, masing-masing umpama membeli dan menjual barang yang berlainan, mendapat faedah yang berbeda. Perniagaan mereka sentiasa membawakan kepada mereka banyak manfaat dalam bentuk nikmati dan rahmat Allah.

“Daripada apa yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terang, (mereka) mengharapkan perniagaan yang tidak akan rugi”. (Surah Fatir, ayat 29).

Layaklah bagi setiap manusia mengetahui urusannya di dalam alam kewujudan dirinya sendiri dan memahami tujuannya. Dia mestilah faham bahawa dia tidak boleh meminda apa yang telah dihukumkan sebagai benar untuknya dan digantungkan dilehernya. Bagi orang yang mahu meminda apa yang telah dihukumkan untuknya, yang terikat dengan cita-cita dan dunia ini Allah berkata: “Tidaklah (mahu) dia ketahui (bagaimana keadaan) apabila dibongkarkan apa-apa yang di dalam kubur? Dan dizahirkan apa-apa yang di dalam dada?” (Surah ‘Aadiyat, ayat 9). “Dan tiap-tiap manusia Kami gantungkan (catatan) amalannya pada tengkuknya…” (Surah Bani Israil, ayat 13).

Sirrul Assrar-Syeikh Abdul Qadir Jailani (6)

6.TEMPAT ROH-ROH DI DALAM BADAN

Tempat roh manusia, roh kehidupan, di dalam badan ialah dada. Tempat ini berhubung dengan pancaindera dan deria-deria. Urusan atau bidangnya ialah agama. Pekerjaannya ialah mentaati perintah Allah . Dengan peraturan-peraturan yang ditentukan-Nya, Allah memelihara dunia nyata ini dengan teratur dan harmoni. Roh itu bertindak menurut kewajipan yang ditentukan oleh Allah, tidak menganggap perbuatannya sebagai perbuatannya sendiri kerana dia tidak berpisah dengan Allah. Perbuatannya daripada Allah; tidak ada perpisahan di antara ‘aku' dengan Allah di dalam tindakan dan ketaatannya. “Barangsiapa percaya akan pertemuan Tuhannya hendaklah mengerjakan amal salih dan janganlah ia sekutukan sesuatu dalam ibadat kepada Tuhannya”. (Surah Kahfi, ayat 110).

Allah adalah esa dan Dia mencintai yang bersatu dan satu. Dia mahu semua penyembahan dan semua amal kebaikan, yang Dia anggap sebagai pengabdian kepada-Nya, menjadi milik-Nya semata-mata, tidak dikongsikan dengan apa sahaja. Jadi, seseorang tidak memerlukan kelulusan atau halangan daripada sesiapa pun di dalam pengabdiannya kepada Tuhannya, juga amalannya bukan untuk kepentingan duniawi. Semuanya semata-mata kerana Allah. Suasana yang dihasilkan oleh petunjuk Ilahi seperti menyaksikan bukit-bukti kewujudan Allah di dalam alam nyata ini; kenyataan sifat-sifat-Nya, kesatuan di dalam yang banyak, hakikat di sebalik yang nyata, kehampiran dengan Pencipta, semuanya adalah ganjaran bagi amalan kebaikan yang benar dan ketaatan tanpa mementingkan diri sendiri.

HAKEKAT GURU SEJATI

Kembali pada pembahasan Guru Sejati.
Melalui 3 langkahnya (Triwikrama) Dewa Wishnu (Yang Hidup), mengarungi empat macam zaman (kertayuga, tirtayuga, kaliyuga,dwaparayuga), lalu lahirlah manusia dengan konstruksi terdiri dari fisik dan metafisik di dunia (zaman mercapada). Fisik berupa jasad atau raga, sedangkan metafisiknya adalah roh beserta unsur-unsur yang lebih rumit lagi.

Ilmu Jawa melihat bahwa roh manusia memiliki pamomong (pembimbing) yang disebut pancer atau guru sejati. Pamomong atau Guru Sejati berdiri sendiri menjadi pendamping dan pembimbing roh atau sukma. Roh atau sukma di siram “air suci” oleh Guru Sejati, sehingga sukma menjadi Sukma Sejati. Di sini tampak Guru Sejati memiliki fungsi sebagai resources atau sumber “pelita” kehidupan. Guru Sejati layak dipercaya sebagai “Guru” karena ia bersifat teguh dan memiliki hakekat “sifat-sifat” Tuhan (frekuensi kebaikan) yang abadi konsisten tidak berubah-ubah (kang langgeng tan owah gingsir).

Guru Sejati adalah proyeksi dari rahsa/rasa/sirr yang merupakan rahsa/sirr yang sumbernya adalah kehendak Tuhan; terminologi Jawa menyebutnya sebagai Rasa Sejati. Dengan kata lain rasa sejati sebagai proyeksi atas “rahsaning” Tuhan (sirrullah). Sehingga tak diragukan lagi bila peranan Guru Sejati akan “mewarnai” energi hidup atau roh menjadi energi suci (roh suci/ruhul kuddus).

Roh kudus/roh al quds/sukma sejati, telah mendapat “petunjuk” Tuhan –dalam konteks ini hakikat rasa sejati– maka peranan roh tersebut tidak lain sebagai “utusan Tuhan”. Jiwa, hawa atau nafs yang telah diperkuat dengan sukma sejati atau dalam terminologi Arab disebut ruh al quds. Disebut juga sebagai an-nafs an-natiqah, dalam terminologi Arab juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainah, adalah sebagai “penasihat spiritual” bagi jiwa/nafs/hawa. Jiwa perlu di dampingi oleh Guru Sejati karena ia dapat dikalahkan oleh nafsu yang berasal dari jasad/raga/organ tubuh manusia. Jiwa yang ditundukkan oleh nafsu hanya akan merubah karakternya menjadi jahat.

Ajaran Syeh Siti Jenar

Ajaran Syekh Siti Jenar dikenal sebagai ajaran ilmu kebatinan. Suatu ajaran yang menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah yang kasat mata. Intinya ialah konsep tujuan hidup. Titik akhir dari ajaran Siti Jenar ialah tercapainya manunggaling kawula-Gusti. Yaitu bersatunya antara roh manusia dengan Dzat Allah. Paham inilah yang hampir sama dengan ajaran para zuhud, wali dan orang-orang khowash. Zuhud banyak dijumpai dalam dunia tasawuf. Mereka merupakan orang-orang atau kelompok yang menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan duniawi. Sebab mereka mempunyai tujuan hidup yang lebih utama, yakni ingin mencapai kesucian jiwa atau roh.

Inti ajaran Syeh Siti Jenar adalah pencapaian spiritualitas yang tinggi dalam penyatuan antara makhluk dengan Dzat Pencipta, yang lebih populer disebut sebagai manunggaling kawula-Gusti. Bagian-bagian dari ajaran itu adalah meliputi penguasaan hidup, pengetahuan tentang pintu kehidupan, tentang kematian, tempat kelak sesudah ajal, hidup kekal tak berakhir, dan tentang kedudukan Yang Mahaluhur. Paham yang hampir senada dengan falsafah Jawa kuno.

Suatu ketika Syeh Siti Jenar mengajarkan ilmu kepada para murid-muridnya. Syeh Siti Jenar berkata,”Manusia harus berpegang pada akal, meyakini pula dua puluh sifat yang dimiliki Allah”. Antara lain yakni; wujud, tak berawal, tak berakhir, berlainan dengan barang baru, berkuasa, berkehendak, berpengetahuan, memiliki ilmu secara hakikat dan sebagainya. Para santri mengajukan pertanyaan- pertanyaan sebagai berikut;

Tentang Ketuhanan

M (murid): Apakah wujud dari Tuhan itu dapat dimiliki oleh manusia ?
S (Syeh Jenar): Memang, sifat wujud itu bisa dimiliki manusia dan itulah inti dari ajaran ini. Selama manusia mampu menjernihkan kalbunya, maka ia akan mempunyai sifat-sifat itu. Sifat tersebut pun sudah kumiliki. Kalian bisa melakukannya dengan mengamalkan apa yang hendak kuajarkan. Allah adalah satu-satunya yang wajib disembah. Dia tidak tampak dan tidak berbentuk. Tidak terlihat oleh mata. Sedangkan alam dan segala isinya merupakan cerminan dari wujud Allah yang tampak. Seseorang bisa meyakini adanya Allah karena ia melihat pancaran wujudNya melalui jagad raya ini. Allah tidak berawal dan berakhir, memiliki sifat langgeng, tak mengalami perubahan sedikitpun. Allah berada di mana-mana, bukan ini dan bukan itu. Dia berbeda dengan segala wujud barang baru yang ada di dunia.

Serat Syeh Siti Jenar - Bagian : 1

Konon, Seorang ulama Islam, bernama Syeh Abdul Jalil, datang ke Jawa dan bermukim di Bukit Amparan Jati. Disana, beliau bertemu dengan Syeh Dzatul Kahfi, seorang ulama sepuh yang sudah lama menetap di Bukit Amparan Jati. Ulama sepuh inilah guru dari Pangeran Walang Sungsang dan Dewi Rara Santang, putra-putri dari Prabhu Silih Wangi, Raja Pajajaran.

Setelah menetap berdekatan dengan Syeh Dzatul Kahfi, Syeh Abdul Jalil kemudian berpindah ke Carbon Girang. Disana beliau mendirikan sebuah Pesantren dengan nama KRENDHASAWA. Banyak yang tertarik dengan ajaran beliau yang bernuansa spiritual murni. Sama sekali berbeda dengan para ulama-ulama lain yang juga mengurusi kenegaraan. Sibuk ingin mendirikan Kekhalifahan Islam.

Di Pesantren Krendhasawa, para santri tidak menemui nuansa politik seperti itu. Ajaran tassawuf begitu kental. Nuansa kedamaian sangat terasa.

Kehadiran Syeh Abdul Jalil, menyita perhatian Dewan Wali Sangha yang berpusat di Ampeldhenta ( Daerah Surabaya sekarang ). Sudah menjadi kesepakatan bersama, seyogyanya, para ulama yang menetap di Jawa, masuk menjadi anggota Dewan Wali. Syeh Abdul Jalil tidak menolak ajakan itu. Beliau bersedia masuk menjadi anggota Dewan Wali Sangha.

Serat Syeh Siti Jenar - Bagian : 2

Nama besar Syeh Siti Jenar berkumandang keseluruh wilayah Majapahit dan Pajajaran. Bukan hanya penganut Islam, para pemeluk agama Hindhu dan Buddha-pun sangat menghormati beliau. Sunan Kalijaga sering bertandang ke Pesantren Krendhasawa. Kedua tokoh ini, ibarat kakak adik yang tidak bisa dipisahkan.

Kedekatan dua tokoh besar yang sangat disegani oleh seluruh masyarakat Majapahit, sangat merisaukan Dewan Wali Sangha. Apalagi ketika dua tokoh itu, mengumandangkan ajaran Islam yang mengakui segala persamaan dengan agama lain, Dewan Wali sedikit berang. Dewan Wali Sangha masih menganggap Islam adalah segala-galanya, tidak bisa disamakan dengan agama lain.

Dan ketika Sunan Giri mendengar Syeh Siti Jenar mengajarkan esensi Islam yang sesungguhnya tidak berbeda dengan esensi agama lain, maka diutuslah duta untuk memanggil beliau agar menghadap ke Giri Kedhaton.

Syeh Siti Jenar sengaja mengeluarkan ucapan yang sangat dalam, ucapan esensial kepada kedua utusan Sunan Giri, untuk mencoba mereka, apakah mereka juga telah mendapatkan wejangan serupa dari Sunan Giri? Ternyata, kedua utusan masih mentah. Masih bengong dan kebingungan. Jelas sudah, Dewan Wali Sangha hanya mengajarkan kulit luar Islam. Kulit luar yang akan memicu perpecahan, memicu ego spiritual, memicu sikap eksklusifisme, karena bagaimanapun juga, pada tataran ‘kulit’, pastilah akan tampak perbedaan yang mencolok.Jika tidak didalami, jika tidak ditingkatkan lagi, mereka akan terjebak, terjebak pada kulit semata. Ini bisa menyesatkan. Namun, malahan Syeh Siti Jenar yang dianggap sesat. Menggelikan.

Mendengar Syeh Siti Jenar mengucapkan kata-kata yang sangat tinggi kepada kedua ulama utusan Sunan Giri, Sunan Kalijaga segera bertandang ke Cirebon. Beliau menanyakan kebenaran berita itu. Dan Syeh Siti Jenar membenarkannya. Sunan Kalijaga menasehati, agar berhati-hati mengeluarkan ucapan, karena para pengikut PUTIHAN, banyak yang masih terjebak kulit. Mereka tidak memahami esensi Islam. Dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah bagi diri Sang Syeh. Namun Syeh Siti Jenar menjawab itu semua memang beliau sengaja untuk menyentil Sunan Giri. Syeh Siti Jenar tahu, Sunan Giri paham akan ucapan beliau, dan Syeh Siti Jenar ingin melihat reaksi pemimpin Dewan Wali Sangha itu.

Kedua utusan Sunan Giri telah sampai di Giri Kedhaton. Keduanya menghadap Sunan Giri dan kisahpun berlanjut seperti dibawah ini :


Kinanthi.


Makaten wiraosipun,
Heh sira dhuta kekalih,
Ingsun mengko tinimbalan,
Ing ngarsa Jeng Sunan Giri,
Matura yen ora ana,
Kang ana Pangeran Jati.

Sakala kawula rengu,
Paran kang dados pamanggih,
Dene ngaken Pangeran,
Ulun nunten den wangsuli,
Sira iku mung saderma,
Ngaturake ala becik.

Wau sapamyarsanipun,
Legeg Jeng Susuhunan Giri,
Jaja bang mawinga-winga,
Kadya age den tedhaki,
Rinapa pra auliya,
Dhuh Sang Ambeg Wali Mukmin.

Den sabar penggalihipun
Inggih katandha rumiyin,
Kekencengane ing tekad,
Gampil pinanggih ing wingking,
Yen sampun kantenan dosa,
Kados boten makalahi.

Leleh ing penggalihipun,
Myarsa sabdaning Pra Wali,
Jeng Sunan Ing Giri Gajah,
Dhuta kinen wangsul malih,
Animbali Syeh Lemah Bang,
Ujare kinen nuruti.

Jangji seba ngarsaningsun,
Ujare ywa mindho kardi,
Dhuta lajeng nembah mesat,
Sampun prapta ing Siti Brit,
Panggih lawan Syeh Lemah Bang,
Nandukken dennya tinuding.

Mring Sunan Giri Kedhatun,
Pangeran dipun timbali,
Sarenga salampah kula,
Pangeran Siti Jenar angling,
Mengko Pangeran tan ana,
Kang ana Syeh Siti Brit.

Dhuta tan sawaleng wuwus,
Sarehning sampun wineling,
Inggih mangkya Syeh Lemah Bang,
Kang wonten dipun timbali,
Ngandika Syeh Siti Jenar,
Pangeran tan amarengi.

Awit Syeh Lemah Bang iku,
Wajahing Pangeran Jati,
Nadyan sira ngaturana,
Ing Pangeran Kang Sejati,
Lamun Syeh Lemah Bang ora,
Masa kalakona yekti.

Dhuta ngungun lajeng matur,
Inggih kang dipun aturi,
Pangeran lan Syeh Lemah Bang,
Rawuha dhateng ing Giri,
Sageda musyawaratan,
Lan sagunging Para Wali.

Pangran Siti Jenar nurut,
Lajeng kering dhuta kalih,
Praptane ing Giri Gajah,
Pepekan kang Para Wali,
Pangeran Ing Siti Jenar,
Anjujug Jeng Sunan Giri.

Lajeng ingandika arum,
Bageya Pangeran kang prapti,
Rawuhe ing ngarsaningwang,
Pangeran Siti Jenar angling,
Dhuh Pukulun sama,
Sama tumeka suka basuki.

Jeng Sunan ngandika arum,
Marma sanak sun aturi,
Kasok karoban ing warta,
Yen andika teki-teki,
Makiki nangkar Ilmu Khaq,
Dadi paguron sabumi.

Ngasoraken Wali Wolu,
Mandar bawa Imam Suci,
Datan asuci Jumungah,
Saestu ngong anjurungi,
Pira-pira sira bias,
Alim ngelem Para Wali.

Pangeran Siti Jenar matur,
Nggen amba purun mbawani,
Medhar Gaibing Pangeran,
Awit Allah sipat Asih,
Asih samining tumitah,
Saben titah angranggoni.

Nganggowa ugering ilmu,
Kang abuntas den atitis,
Sampun ngantos selang sebat,
Mindhak abebingung piker,
Amet ansar dadi sasar,
Karana kurang baresih.

Pedah punapa mbebingung,
Ngangelaken ulah ilmi,
Jeng Sunan Giri ngandika,
Bener kang kaya sireki,
Nanging luwih kaluputan,
Wong wadeh ambuka wadi.

Telenge bae pinulung,
Pulunge tanpa ling-aling,
Kurang waskhitha ing cipta,
Lunturing Ilmu Sejati,
Sayekti kanthi nugraha,
Tan saben wong anampeni.

Pangran Siti Jenar matur,
Paduka amindho kardi,
Ndadak amerangi tatal,
Tetelane ing dumadi,
Dadine saking nugraha,
Punapa boten ngalami.

Sunan Giri ngandika rum,
Yen kaya wuwusireki,
Tan kena den nggo rerasan,
Yen ngebreh amedhar wadi,
Pangeran ora Kuwasa,
Anane tanpa ling-aling.

Endi kang ingaran Luhur,
Endi kang ingaran Gaib,
Endi kang ingaran Purba,
Endi kang ingaran Bathin,
Endi kang ingaran Baqa’,
Endi kang ingaran Lathif.

Endi kang ingaran Besus,
Endi ingaran Birahi,
Yen Baqa’ mbabar walaka,
Bakal bubur tanpa bibit,
Mangka Pangeran Kang Nyata,
Ora kena den rasani.

Pan Ora kena dinumuk,
Anane wahana Gaib,
Matur Pangran Siti Jenar,
Sedya purun amabeni,
Bantahan masalah rasa,
Sinapih kang Para Wali.

Dhuh sanak sekalihipun,
Ywa tansah aben prang sabil,
Prayogi kanyatakena,
Wonten ing nggon kang asepi,
Samun sepen sepi hawa,
Sarahsa saged anunggil.

Wonten kawekasanipun,
Yen mukid yekti karadin,
Jeng Sunan Ing Giri Gajah,
Wrin kedhaping sambaing liring,
Sabdaning Pra Auliya’,
Lajeng angandika aris.

Heh Syeh Lemah Bang,
Sireku aja pijer madoni,
Besuk ing ari Jumungah,
Padha musyawaratan batin,
Yekti katandha kanyata,
Lelere asmareng ilmi.



Terjemahan :


(Kata sang duta), Begini jawaban beliau,
Hai kalian para duta berdua,
Aku dipanggil menghadap,
Dihadapan Sunan Giri,
Katakan bahwasanya aku tidak ada,
Yang ada PANGERAN JATI (TUHAN YANG SESUNGGUHNYA).

Seketika hamba berdua terkejut,
Bagaimana bias berpikiran demikian,
Mengaku sebagai PANGERAN (TUHAN),
Hamba lantas diberi jawaban,
Kalian berdua hanya sekedar utusan,
Kewajibannya hanya menyampaikan saja.

Setelah mendengar hal tersebut,
Tertegun Jeng Susuhunan Giri,
Dada bergemuruh membara,
Tidak sabar ingin menemui Syeh Siti Jenar sendiri,
Para Auliya (Wali) menyabarkan,
Duh yang menjabat sebagai Wali Mukmin ( Wakil para orang-orang beriman ).

Mohon sabarkan hati,
Seyogyanya dibuktikan dulu,
Apa maksud Syeh Siti Jenar berkata demikian,
Gampang memberikan keputusan hukuman kelak,
Apabila sudah jelas dosa (kesalahan)-nya,
(Dan jika memang sudah terbukti ) tidak menjadi soal lagi untuk menjatuhkan sangsi.

Reda kemarahan (Sunan Giri),
Mendengar sabda Para Wali,
(Oleh) Jeng Sunan Giri Gajah,
Utusan disuruh kembali lagi,
Memanggil Syeh Lemah Bang,
Apapun yang dikatakan supaya dituruti.

Asalkan bias menghadap kepadaku (Sunan Giri),
Jangan sampai mengulang kegagalan,
Utusan lantas menghaturkan sembah dan berangkat,
(Telah) sampai di Siti Brit,
Bertemu dengan Syeh Lemah Bang,
(Lantas) menghaturkan maksud mereka diutus kembali.

Oleh Sunan Giri Kedhaton,
PANGERAN (TUHAN) dipanggil menghadap,
Berangkatlah bersama kami,
Pangeran Siti Brit menjawab,
Saat ini PANGERAN tidak ada,
Yang ada Syeh Siti Brit.

Para utusan tidak membantah perkataan lagi,
Karena sudah diwanti-wanti (oleh Sunan Giri),
Jikalau sekarang yang ada Syeh Lemah Bang,
Syeh Lemah Bang dipanggil menghadap,
Berkata Syeh Siti Jenar,
PANGERAN (TUHAN) tidak membolehkan.

Sebab Syeh Lemah Bang itu,
Wajah Tuhan Yang Sesungguhnya,
Walaupun engkau memohon,
Kepada Tuhan Yang Sesungguhnya,
Namun apabila tidak memohon kepada Syeh Lemah Bang,
Sungguh tidak akan terlaksana.

Para utusan terheran-heran lantas berkata,
Sesungguhnya yang diharapkan,
PANGERAN (TUHAN) dan Syeh Lemah Bang,
Bertandang ke Giri,
Untuk bermusyawarah dengan segenap Para Wali.

Pangeran Siti Jenar menurut,
Dengan diiringi kedua utusan beliau berangkat,
Sesampainya di Giri Gajah,
Para Wali sudah menanti,
Pangeran Siti Jenar,
Menghadap Jeng Sunan Giri.

Lantas ( Sunan Giri ) menyambut dengan berkata ramah,
Semoga senantiasa sejahtera kepada Pangeran (Siti Jenar),
Yang tengah datang dihadapan kami ini,
Pangeran Siti Jenar menjawab,
Duh yang hamba hormati sama-sama,
Sama-sama semoga mendapatkan kebahagian dan keselamatan.

Jeng Sunan (Giri) berkata manis,
Sebab mengapa saudaraku aku undang kemari,
(Sebab) sangat santer terdengar,
Apabila saudaraku tengah ber-olah batin,
Mengajarkan Ilmu Khaq ( Ilmu Sejati ),
Mendirikan sebuah perguruan (yang sangat terkenal) dimuka bumi.

Mengalahkan Para Wali yang lain,
Memegang jabatan sebagai Imam Suci,
Kesucian hari Jum’at-pun seolah tertandingi,
Benar-benar kami mendukung,
Apa saja yang saudaraku kerjakan,
Para Wali menyanjung-nyanjung.

Pangeran Siti Jenar berkata,
Sebab mengapa hamba berani,
Membuka Gaib Tuhan,
Sebab Allah bersifat KASIH,
KASIH kepada semua makhluk,
Setiap makhluk mendapatkannya.

(Hamba hanya ingin) mengajarkan ilmu sesuai dengan ketentuan,
Secara lengkap dan gamblang,
Jangan sampai asal-asalan,
(Sehingga) membuat kebingungan para murid,
Memakai ‘kulit’ (syari’at) berlebihan malah akan menyesatkan,
Sebab apa yang diajarkan kurang jelas.

Apa untungnya membuat bingung,
Mempersulit mereka yang menimba ilmu (Sejati),
Jeng Sunan Giri berkata,
Benar apa yang kamu katakan,
Akan tetapi sangat-sangat dipersalahkan,
Manusia yang sembrono membuka rahasia.

Hanya mengambil inti sari,
Inti sari diambil tanpa memakai ‘kulit’ apapun,
(Hal) itu akan membuat kurang tajam kecerdasan para murid,
Turunnya Ilmu Sejati,
Sungguh harus disertai anugerah,
Tidak setiap orang boleh menerima.

Pangeran Siti Jenar menjawab,
Perkatan paduka bertolak belakang (inkonsisten),
Seperti hendak menghitung serpihan-serpihan kayu sisa digergaji (artinya : merepotkan),
Bukankah sesungguhnya seluruh makhluk,
Tercipta karena anugerah,
Apakah tidak menyadari?

Sunan Giri berkata manis,
Apa yang kamu ucapkan (kepada kedua utusan),
Tidak boleh dibuat percakapan,
Apabila lancang membuka rahasia,
(Maka seolah-olah) Tuhan tidak Maha Kuasa,
Keberadaan-Nya seolah-olah tidak rahasia.

Maka seakan-akan tidak ada lagi konsep Keluhuran,
Seakan-akan tidak ada lagi konsep Maha Gaib,
Seakan-akan tidak ada lagi konsep Maha Berkuasa,
Seakan-akan tidak ada lagi konsep Maha Rahasia,
Seakan-akan tidak ada lagi konsep Maha Kekal,
Seakan-akan tidak ada lagi konsep Maha Halus.

Maka seakan-akan tidak ada lagi konsep Maha Cerdas,
Ujung-ujungnya etika moral juga akan rusak,
Apabila Maha Kekal ( Al-Baqa’: Bhs. Arab) menjadi Walaka ( Bhs. Sanskerta, yang artinya umum, lumrah, remeh. ),
Bakalan bubar tanpa benih,
Padahal Tuhan Yang Sesungguhnya,
Tidak bisa dibuat percakapan.

Tidak bisa diraba dengan tangan kasar,
Keberadaannya berada diranah Gaib,
Berkata Syeh Siti Jenar,
Hendak berniat berdebat tentang Ilmu Rasa ( Ilmu Sejati),
(Namun) dilerai oleh Para Wali.

Duh kedua saudaraku,
Jangan terus-terusan berdebat,
Seyogyanya dinyatakan sendiri ( Hakikat Tuhan itu ),
Ditempat yang sepi,
Yaitu maksudnya sepinya diri dari hawa nafsu,
Dalam kondisi seperti itu pasti akan nyata kesatuan-Nya dengan kita.

Hal ini bisa dicapai,
Apabila kita benar-benar telah berpasrah total,
Jeng Sunan Giri Gajah,
Melihat isyarat leraian,
Melalui ucapan Para Auliya’,
Lantas berkata lirih.

Heh Syeh Lemah Bang,
Jangan hanya bisa membantah,
Nanti pada hari Jum’at,
Datanglah lagi untuk bermusyawarah tentang Ilmu Bathin,
Pasti akan kelihatan nyata,
Siapa yang benar-benar memahami Ilmu Sejati.




(Bersambung)

(29 Oktober 2009, by : Damar Shashangka )

Serat Syeh Siti Jenar - Bagian : 3

Ucapan Syeh Siti Jenar sangat besar dampaknya bagi image beliau. Kubu PUTIHAN semakin getol menghakimi kubu ABANGAN.

Sesungguhnya memang apa yang diucapkan beliau, terlalu tinggi untuk didengar oleh mereka-mereka yang baru saja mengenal spiritualitas. Namun, pada hakikatnya, memang benarlah apa yang beliau ucapkan.

Siapakah DIA YANG TAK TERBAYANGKAN itu? Siapakah RUH manusia itu? Sesungguhnya tiada beda. Ibarat udara yang terkurung dalam sebuah karet sintetis mainan anak-anak yang biasa disebut Balon, dengan udara bebas yang ada ditempat terbuka. Apakah kita bisa membedakannya? Sebuah karet sintetis yang bernama Balon, ibarat Suksma Sariira ( Badan Halus) dan Sthula Sariira (Badan Kasar) manusia. Dan udara yang terkurung didalamnya ibarat Atma Sariira ( Ruh ). Dan udara yang ada ditempat terbuka adalah Brahman itu sendiri.

Suksma Sariira dan Sthula Sariira, keduanya adalah produk Prakrti, produk Alam, yang muncul karena diadakan, karena diciptakan. Dan sesuatu yang diadakan, diciptakan dari ketiadaan, pasti akan memiliki limitasi, memiliki batas kegunaan. Dan pada saatnya, pasti akan berakhir. Oleh karenanya, kedua produk ini disebut produk Maya, produk khayalan, produk fana.

Sedangkan Atma Sariira (Ruh), tidak diciptakan. Tidak diadakan. Dari dulu ada, sekarang dan sampai selamanya. Atma Sariira adalah bagian yang tak terpisahkan dari Brahman. Apabila Atma Sariira masih terbelenggu oleh Suksma Sariira dan Sthula Sariira, tampaklah ia sebagai MANUSHA. Namun, apabila Atma Sariira ( Ruh ) telah lepas dari belenggu Suksma Sariira dan Sthula Sariira, maka apakah bisa dibedakan lagi mana Atman mana Brahman? Keduanya sudah MENYATU LAGI. Sudah MANUNGGAL lagi. Inilah MANUNGGALING KAWULA GUSTI!.

Setiap kali Syeh Siti Jenar berdzikir dgn sendirinya beliau menangkap suara dzikir yg berbunyi lain. Subhani, Alhamdu li, La ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (Maha Suci Aku, segala puji untuk- Ku, tiada Tuhan selain Aku, Maha besar Aku, sembahlah Aku). Walaupun telinga beliau mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, Al-hamduli Allahi, La ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar sebaliknya, sebagai esensi bunyi hadist : "Man ‘arafa Nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu" ( Siapa yang mengenal Diri Sejatinya, sungguh dia telah tahu siapa Tuhannya). Dan Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Nabi Muhammad yang berbunyi : “Al-Insan sirri wa Ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).

Apabila sudah mencapai puncak spiritualitas seperti ini, apabila sudah mencapai maqam (tingkat) Tajjali ( Allah terlihat nyata) seperti ini. Maka, bisakah kita membedakan mana Jesus mana Bapa? Bisakah kita membedakan mana Siddharta Gautara mana Buddha? Bisakah kita membedakan mana Krishna mana Bhagavan? Bisakah kita membedakan mana Syeh Siti Jenar mana...................................Mengapa kita bertengkar? Mengapa kita saling merasa paling benar? Dan yang merasa paling benar adalah mereka yang baru mempelajari kulit Islam, kulit Hindhu, kulit Buddha dan kulit Kristen. Mereka belum menemukan 'Puncak Kesadaran' yang seharusnya mereka cari. Yang menjadi tujuan pengajaran Krishna, Buddha, Jesus dan Muhammad. Mereka mengajarkan semua manusia untuk itu, bukan mengajarkan kulit luar yang berbeda-beda. Kulit luar hanya sekedar metode. Kulit luar hanya sebuah alat, sebuah sarana, untuk mencapai tujuan ini! Sadarlah!

Maka, bila Syeh Siti Jenar yang telah mampu melampaui belenggu Suksma Sariira ( Nafs ) dan Sthula Sariira ( Jasad ), walaupun nampaknya Atma ( Ruh ) beliau masih terkurung oleh kedua produk fana, produk Maya ini, namun sesungguhnya Ruh beliau telah MENYATU lagi dengan Maha Ruh, yang dulu pernah meniupkan Ruh itu kedalam Nafs dan Jasad! Dalam Nafs atau Suksma Sariira beliau, hanya tersisa Nafs Muthmainnah ( Badan halus yang tenang ) atau Guna Sattva ( Watak suksma sariira yang stabil). Mengapa kita jadi terkecoh hanya karena beda istilah? Dari metode Islam, disebut Nafs Muthmainnah. Dari metode Hindhu disebut Guna Sattva. Apanya yang beda? Kecuali kalimatnya semata. Kecuali kulit luar yang berupa kata-kata semata. Sedangkan esensinya, SAMA! Maka, inilah yang saya maksud JANGAN TERJEBAK METODE! JANGAN DIPERBUDAK METODE! KARENA JIKA ANDA TERJEBAK! ANDA AKAN TERSESAT! 

Kisah Syeh Siti Jenar-pun, berlanjut seperti dibawah ini :


Asmaradana.




Syeh Lemah Bang nayogyani
Prapta ing ari Jumungah,
Nuju Ramadlan wulane,
Marengi tanggal ping lima,
Kumpule Pra Auliya',
Anedheng kalaning dalu,
Ngrakit papan kang prayoga.

Sakehing Para Wali,
Samya paguneman Rahsa,
Ing Giri Gajah enggone,
Akarsa musyawaratan,
Ing bab masalah tekad,
Den waspada ing Hyang Agung,
Wajib sami nyatakena.

Kang samya angulah ilmu,
Lamun bijaksaneng driya,
Dadi wijang sayektine,
Tan beda lan puruhita,
Mungguh Rahsaning rasa,
Pralambanging pasang semu,
Tan liyan saking punika.

Nadyan akeh kang wewisik,
Wosing wasana wus ana,
Mung kari met pratikele,
Ing sawurira pepekan,
Kangjeng Sinuhun Benang,
Ingkang miwiti karuhun,
Lan Sunan Kalijaga.

Sunan Cirebon lan kang rayi,
Padha nerang Syeh Lemah Bang,
Lan Sunan Majagung-e,
Suhunan Ing Banten,
Lawan Suhunan Giri Gajah,
Samya agunem ing ilmu,
Jenenge masalah tekad.

Jeng Sinuhun Ratu Giri,
Amiwiti angandika,
He sanak manira kabeh,
Pratingkahe wong makripat,
Aja dadi parbutan,
Dipun sami ilmunipun,
Padha peling pinelingan.

Wong wewolu dadi siji,
Aja na kang kumalamar,
Dipun rujuk ing karepe,
Den waspada ing Pangeran,
Nenggih Sinuhun Benang,
Ingkang miwiti karuhun,
Amedhar ing pangawikan.

Ing karsa manira iki,
Iman tokid lan makripat,
Weruh ing kasampurnane,
Lamun masiha makripat,
Mapan durung sampurna,
Dadi batal kawruhipun,
Pan maksih rasa rumasa.

Sinuhun Benang ngukuhi,
Sampurnane wong makripat,
Suwung ilang paningale,
Tan ana kang katingalan,
Iya jenenging tingal,
Manteb Pangeran Kang Agung,
Kang anembah kang sinembah.

Pan karsa manira iki,
Sampurnane ing Pangeran,
Kalimputan salawase,
Tan ana ing solahira,
Pan ora darbe seja,
Wuta tuli bisu suwung,
Solah tingkah saking Allah.

Sinuhun Benang anuli,
Ngandikani Wali samya,
Heh sanak manira kabeh,
Punika kekasih alam,
Yen mungguh ing manira,
Jenenge Roh semunipun,
Ing Roh-e Nabi Muhammad.

Ora beda ing Roh iki,
Yen sedya mutabangatan,
Tan beda ing panunggale,
Kadya paran karsandika,
Matur Wali sadaya,
Boten sanes kang winuwus,
Sampun atut sabda Tuwan.

Pundi kang ingaran Nabi,
Jenenge Roh ing semunya,
Mapan iku kekasihe,
Sadurunge jagad dadi,
Mapan jinaten tunggal,
Den dadekaken karuhun,
Kang minangka kanyatahan.

Sinuhun Majagung nenggih,
Amedhar ing pangawikan,
Ing karsa manira dene,
Iman Tokid lan Makripat,
Tan kocap ing akherat,
Mung padha samengko wujud,
Ing akherat ora ana.

Nyatane Kawula Gusti,
Iya kang muji kang nembah,
A0pan mangkono lakone,
Ing akherat ora ana,
Yen tan anaa Iman,
Tan weruh Jatining Ilmu,
Ora cukup dadi janma.

Jeng Sunan Ing Gunungjati,
Amedhar ing pangawikan,
Jenenge Makripat mengko,
Awase marang Pangeran,
Tan ana ingkang liyan,
Tan ana roro telu,
Allah pan amung kang Tunggal.

Jeng Sunan Kalijaga ngling,
Amedhar ing pangawikan,
Den waspada ing mengko,
Sampun ngangge kumalamar,
Den awas ing Pangeran,
Dadya paran awasipun,
Pangeran pan Ora Rupa.

Ora Arah Ora Warni,
Tan Ana ing Wujudira,
Tanpa Mangsa Tanpa Enggon,
Sejatine Ora Ana,
Lamun Ora Ana-a,
Dadi jagadipun suwung,
Ora Ana Wujudira.

Syeh Benthong samya melingi,
Amedhar ing tekadira,
Kang aran Allah Jatine,
Tan ana liyan Kawula,
Kang dadi kanyatahan,
Nyata ing Kawulanipun,
Kang minangka Katunggalan.

Kangjeng Molana Maghribi,
Amedhar ing pangawikan,
Kang aran Allah Jatine,
Wajibul Wujud kang ana,
Syeh Lemah Bang ngandika,
Aja-na kakehan semu,
IYA INGSUN IKI ALLAH.

NYATA INGSUN KANG SEJATI,
JEJULUK PRABHU SADMATA,
TAN ANA LIYAN JATINE,
INGKANG BANGSA ALLAH,
Molana Maghribi mojar,
Iku jisim aranipun,
Syeh Lemah Bang ngandika.

Kawula amedhar ilmi,
Angraosi Katunggalan,
Dede jisim sadangune,
Mapan jisim ora ana,
Dene kang kawicara,
Mapan Sejatining Ilmu,
Amiyak warana.

Lan malih sadaya ilmi,
Sampun wonten kumalamar,
Yekti tan ana bedane,
Salingsingan punapaa,
Dening sedya kawula,
Ngukuhi jenenging ilmu,
Sakabehe iku padha.

Kangjeng Syeh Maulana Maghribi,
Sarwi mesem angandika,
Inggih leres ing semune,
Puniku dede wicara,
Lamun ta kapyarsa-a,
Dening wong akathah saru,
Punika dede rerasan.

Tuwan ucapna pribadi,
Aja-na wong amiyarsa,
Anuksma ing lathi dhewe,
Puniku ujar kekeran,
Yen kena-a Tuwan,
Amalangi jenengipun,
Bok sampun kadi mangkana.

Nenggih Jeng Sunan Giri,
Amedhar ing pangawikan,
Pasthine Allah Jatine,
Jejuluk Prabhu Sadmata,
Sampun wancak wicara,
Tan ana pepadhanipun,
Anging Allah Ingkang Tunggal.

Ya ta sakathahing Wali,
Angestokaken sadaya,
Mapan sami ing kawruhe,
Amung sira Syeh Lemah Bang,
Tan kena pinalangan,
Cinegah Wali sadarum,
Tan owah ing tekade.

Angandika Syeh Siti Brit,
Pan sampun ujar manira,
Dennya nututi kepriye,
Dhasare ingkang amedhar,
Pamejange maring wang,
Puniku wuruking Guru,
Datan kenging ingowahan.

Ameksa tan kena gingsir,
Sinuwalan ing ngakathah,
Tan kena owah tekade,
Sampun ujar linakonan,
Pan wus jangjining Suksma,
Sunan Cirebon ngandika rum,
Sampun ta Tuwan mangkana.

Punika ujaring jangji,
Yekti binunuh ing kathah,
Nenggih sampun ing khususe,
Wong ingkang ngaku Allah,
Ngandika Syeh Lemah Bang,
Lah mara Tuwan den gupuh,
Sampun ngangge kalorehan.

Dhasar kawula labuhi,
Ngulati pati punapa,
Pan pati iku parenge,
Sarenge sih kawimbuhan,
Pan tansah kawisesa,
Kang teka jatining suwung,
Ana Kadim ana anyar.

Ngulati punapa malih,
Ora ana liyan-liyan,
Apan apes salawase,
Anging Allah Ingkang Tunggal,
Ya jisim iya Allah,
Taukhid tegese puniku,
Apan Tunggal Kajatennya.

Sakathahe Para Wali,
Pra samya mesem sadaya,
Miyarsa pamuwuse,
Kukuh tan kena ingampah,
Saya banjur micara,
Amiyak warananipun,
Ora ngangge sita-sita.

Angaku jeneng pribadi,
Andadra dadi rubeda,
Ngreribedi wekasane,
Nerang anerak syara',
Rembuge andaliga,
Mawali Pra Wali Wolu,
Winalon kurang walaka.

Lajeng abubaran sami,
Kang Para Wali sadaya,
Kondur ing padalemane,
Mung Jeng Sunan Giri Gajah,
Kang kawogan anglunas,
Kang murang syara'-ing ngelmu,
Mumpung durung ngantos lama.

Jeng Sunan Giri nyagahi,
Ing sirnane Syeh Lemah Bang,
Yen sampun prapteng masane,
Adege Nata ing Demak,
Bedhahing Majalengka,
Sadaya samya jumurung,
Lajeng samya sasowangan.




Terjemahan :



Syeh Lemah Bang menepati janji,
Datang pada hari Jum'at,
Tepat pada bulan Ramadlan,
Bersamaan dengan tanggal lima,
Kumpulnya Para Auliya',
Pada waktu malam hari,
Telah disiapkan tempat yang sepatutnya.

Seluruh Para Wali,
Hendak membahas masalah Ilmu Rahsa (Ilmu Sejati).
Di Giri Gajah tempatnya,
Bermusyawarah,
Tentang pencapaian masing-masing,
Akan kebenaran Hyang Agung ( Maha Agung ),
Untuk saling dinyatakan kepada semua yang hadir.

Mereka yang tengah mendalami Ilmu (Sejati),
Apabila tajam kesadarannya,
Akan terang pemahamannya,
Begitulah orang yang berguru mendalami Ilmu (Sejati),
Menyibak pusat rasanya rasa,
Menguliti segala perlambang dan simbolisme,
Hanya dengan demikian intisari (esensi)nya bisa didapatkan.

Walaupun banyak wejangan ( berbagai metode dan konsep),
Intisari (esensi)-nya pasti sama,
Tinggal bagaimana kesadaran kita mampu menangkapnya,
Setelah genap semua yang hadir,
Kangjeng Sinuhun Benang,
Yang memulai,
Lantas Sinuhun Kalijaga.

Kemudian Sunan Cirebon (Sunan Gunungjati) dan adik beliau,
Tengah membicarakan cara menghadapi Syeh Lemah Bang,
Juga Sunan Majagung,
Sinuhun Banten,
Dipimpin oleh Sunan Giri Gajah,
Hendak membahas Ilmu (Sejati),
Mengungkapkan pencapaian masing-masing.

Jeng Sinuhun Ratu Giri,
Memulai pembicaraan,
Hai saudaraku semuanya,
Etika manusia yang telah mencapai Ma'rifat ( Pencapaian spiritual tertinggi ),
Tidak pantas jika saling berebut benar,
Maka dari itu mari satukan pendapat,
Dan saling ingat mengingatkan.

Semua Wali harus menyatu,
Jangan berbantahan sendiri-sendiri,
Satukan pendapat kita,
Tentang kebenaran Tuhan (yang telah kita capai masing-masing),
Lantas Sinuhun Benang,
Memulai pertama kali,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau.

Menurut pendapatku,
Tingkatan Iman ( Keyakinan ), Taukhid ( Ke-Esa-an), dan Ma'rifat ( Melihat Kebenaran Sejati ),
Masih harus ditambah lagi satu tingkatan yaitu MENYADARI KESEMPURNAAN SEJATI,
Apabila masih dalam tingkat Ma'rifat,
Belumlah sempurna,
Karena masih sekedar 'MELIHAT', belum 'MENYADARI'.
Sehingga masih mengira-ngira.

Sinuhun Benang meyakini benar,
Kesempurnaan Ma'rifat,
Kosong Hilang Penglihatan makhluk,
Tiada lagi yang terlihat,
Karena keadaan sang pelihat,
Hanya 'MELIHAT' PANGERAN KANG AGUNG (TUHAN YANG AGUNG),
(Tiada lagi terlihat lain, kecuali hanya) Yang Menyembah dan Yang Disembah.

Jelasnya maksudku (Sunan Benang) ini,
Kesempurnaan Sejati,
Adalah terliputi selamanya ( oleh Dzat-Nya ),
Tiada lagi gerak (makhluk),
Tiada lagi kehendak (makhluk),
Buta tuli bisu kosong (kemakhlukan kita),
Dan segala gerak dan kehendak hanya dari Allah.

Lantas Sinuhun Benang,
Menanyakan kepada Para Wali,
Wahai saudaraku semua,
Inilah Kekasih Semesta,
Yang ada didalam diri kita semua,
Yaitu Ruh kita ini,
Dan nama Ruh kita sebenarnya adalah Muhammad ( Yang Terpuji).

Tiada beda semua Ruh itu,
Apabila diperbandingkan,
Tak ada beda satu sama lainnya,
Bagaimanakah pendapat saudaraku semua?
Menjawab semua Wali,
Sudah benar apa yang anda yakini,
Kami semua sependapat.

Manakah sesunguhnya yang dinamakan Nabi Muhammad,
Sesungguhnya adalah nama dari Ruh,
Itulah Kekasih Allah,
Sebelum semuanya tercipta,
Berada dalam Jinaten Tunggal (Kesejatian Tunggal/ Jadi Satu dengan Allah),
Lantas ditiupkan dahulu,
Sebagai perwujudan Allah. ( Sunan Benang sebenarnya ingin menunjukkan bahwa Ruh manusia dan Allah adalah SATU. Tapi beliau tidak terang-terangan mengatakannya.)

Sinuhun Majagung kemudian,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Menurut pendapatku ( Sunan Majagung ),
Iman ( Keyakinan ), Taukhid ( Ke-Esa-an ) dan Ma'rifat ( Pencapaian tertinggi spiritual),
Tidak ada gunanya di akherat (kata akherat maksud Sunan Majagung adalah PUNCAK SPIRITUAL) nanti,
Hanya dibutuhkan pada saat ini saja ( Termasuk konsep belaka),
Di akherat tidak ada.

Wujud nyata Kawula ( Hamba ) dan Gusti ( Tuhan ) hanya ada didunia ini,
Terlihat memuji dan menyembah,
Padahal sesungguhnya,
Di akherat tidak terlihat Dua ( maksudnya Kawula dan Gusti. Intinya Sunan Majagung hendak berkata Kawula dan Gusti itu SATU, tapi sama seperti Sunan Benang, beliau juga tidak terang-terangan),
Apabila tidak mempunyai Iman ( Keyakinan ) tentang hal ini,
Tidak akan tahu Kesejatian Ilmu,
(Apabila tidak mengetahui Kesejatian Ilmu, maka ) tidak lengkap menjadi manusia.

Jeng Sunan Gunungjati,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Sesungguhnya Ma'rifat itu,
Penglihatannya hanya melihat Tuhan semata,
(Apabila sudah mengetahui Tuhan, maka akan menyadari) Tidak ada yang lain lagi selain Dia,
Tak ada yang kedua dan ketiga ( Sunan Gunungjati sebenarnya juga hendak mengatakan, TIDAK ADA LAGI KAWULA DAN GUSTI JIKA TELAH MENCAPAI MA'RIFAT, YANG ADA CUMA GUSTI. TIDAK ADA LAGI DUALITAS, ATAU TRINITAS LAGI. KAWULA DAN GUSTI ADALAH SATU. Karena KAWULA telah lebur kedalam GUSTI. INILAH TAUKHID. INILAH KE-ESA-AN. Tapi, beliau sama seperti Sunan Benang dan Sunan Majagung, tidak berani mengatakan terang-terangan).
Hanya Allah Yang Maha Tunggal.

Sunan Kalijaga berbicara,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Sadarlah senantiasa,
Jangan sampai tergoyahkan,
Senantiasa Menyadari Adanya Tuhan,
Bagaimana cara menyadari-Nya?
Bukankah Tuhan tidak ber-Wujud?

Tidak ber-Kedudukan disuatu tempat juga Tidak ber-Bentuk,
Tidak ada Wujud-Nya,
Tanpa Ruang dan Waktu,
Sesungguhnya ALLAH TIDAK ADA, (Allah yang personil, yang berpribadi seperti yang dipahami orang awam)
APABILA BEGITU,
Sesungguhnya ALLAH ITULAH KEKOSONGAN ABADI,
DIA TIDAK BERWUJUD. (Sunan Kalijaga tidak mau membicarakan tentang KESATUAN WUJUD (WAJIBUL WUJUD) seperti yang lain. Beliau hanya memberikan gambaran bahwasanya apa yang dinamakan Allah itu adalah KEKOSONGAN ABADI YANG MUTLAK, SUMBER SEGALANYA. Jadi, jika kita MENYATU LAGI DENGAN YANG MUTLAK itu, maka itu dimungkinkan. Sunan Kalijaga, tidak mau membahas tentang MANUNGGALING KAWULA GUSTI. Karena beliau sepaham dengan Syeh Siti Jenar.)

Syeh Benthong lantas berkata,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Yang disebut Allah sesungguhnya,
Tak lain adalah Kawula ( Hamba ) ini juga,
Yang menjadi KENYATAAN WUJUD-NYA,
Benar-benar nyata Ada-Nya terlihat pada Kawula-Nya,
Karena Gusti (Tuhan) dan Kawula (Hamba) adalah Satu. ( Syeh Benthong lebih berani berbicara. Terlihat disini.)

Kangjeng Maulana Maghribi,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Yang disebut Allah sesungguhnya,
WAJIBUL WUJUD (WUJUD YANG HARUS ADA). ( Syeh Maulana Maghribi, tidak mau berbicara dalam. Terlihat disini).
Dan Syeh Lemah Bang kemudian berkata,
Jangan berputar-putar,
IYA INGSUN IKI ALLAH. (IYA AKU INI TUHAN).

Nyatalah AKU yang Sejati,
Bergelar Prabhu Sadmata ( Raja bermata enam. Shiva adalah Avatara Brahman. Jika Shiva bermata tiga, maka Brahman bermata enam. Inilah maksud 'jargon' spiritual waktu itu).
Tidak ada lagi yang lain,
Apa yang disebut Allah itu.
Maulana Maghribi berkata,
Yang anda tunjuk itu adalah jasad,
Syeh Lemah Bang menjawab.

Hamba membuka rahasia Ilmu Sejati,
Membahas tentang Kesatuan Wujud,
Tidak membahas Jasad (yang fana),
Jasad sudah terlampaui,
Yang saya ucapkan adalah Sejati-nya Ilmu,
Membuka Segala Rahasia.

Dan lagi sesungguhnya semua Ilmu,
Tidak ada yang berbeda,
Sungguh tiada beda,
Sedikitpun tidak,
Menurut pendapat hamba,
Meyakini bahwasanya Ilmu itu,
Semuanya sama.

Kangjeng Syeh Maulana Maghribi,
Sambil tersenyum berkata,
Benarlah sesungguhnya apa yang kamu katakan,
Akan tetapi itu bukan bahan pembicaraan,
Apabila sampai terdengar,
Oleh banyak orang sangat tabu,
Hal itu bukan bahan percakapan.

Ucapkanlah sendiri,
Jangan sampai terdengar oleh orang lain,
Cukup terdengar oleh telinga sendiri,
Hal itu adalah Sabda larangan,
Apabila bisa,
Saya menyarankan,
Janganlah seperti itu.

Lantas Jeng Sinuhun Giri,
Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Sudah pasti Allah itu sesungguhnya,
Bergelar Prabhu Sadmata,
Janganlah semua yang hadir disini sembrono dalam berbicara,
Dia tidak ada bandingannya,
Hanya Allah Yang Maha Tunggal.

Mendengar kata-kata Sunan Giri ( yang turun ketingkat syari'at),
Seluruh Wali terdiam dan menta'ati,
(Sunan Giri berkata kepada Syeh Lemah Bang), Hanya kamu wahai Syeh Lemah Bang,
Tidak bisa dihalangi,
Tidak bisa dicegah oleh semua Wali,
Tetap tak berubah pendapat kamu.

Berkata Syeh Siti Brit,
Sudah menjadi tekad hamba,
Bagaimanapun juga,
Karena semua itu adalah wejangan,
Diwejangkan kepada hamba,
Oleh Guru hamba,
Tidak bisa lagi dirubah.

Dipaksapun tidak bisa surut,
Dibujuk oleh semua Para Wali,
Tak pula berubah tekadnya,
Sudah menjadi ucapan umum,
Dan sudah menjadi hukum syariat,
Demikian Sunan Cirebon ( Sunan Gunungjati) berkata,
Janganlah tuan seperti itu.

Sudah ditentukan,
Hukumnya adalah dibunuh (Qisas),
Khusus bagi mereka,
Yang mengaku Allah,
Berkata Syeh Lemah Bang,
Segeralah laksanakan,
Jangan ditunda-tunda lagi.

Memang sudah saya niati,
Mencari kematian yang bagaimana lagi,
Sebab bersamaan dengan kematian,
AKAN DATANG KASIH-NYA,
YANG MELIPUTI AKU,
DAN KEKOSONGAN YANG SEJATI AKAN DATANG PADAKU.
Tidak perlu disesali sebab diriku ini memang terdiri dari YANG KEKAL (Ruh) dan YANG FANA (Nafs dan Jasad).

Mau mencari apa lagi?
Tidak ada lagi pencapaian yang lebih sempurna (selain hal ini).
Yang fana selamanya pasti akan kembali ke fana,
Yang kekal akan kembali kepada Allah Yang Tunggal,
Dan jasadku yang sesungguhnya adalah Ruh ini, Iya Ruh Iya Allah, Satu.
Taukhid itu namanya,
Satu kesatuan dalam Kesejatian.

Seluruh Para Wali,
Tersenyum semuanya,
Mendengar apa yang diucapan Syeh Siti Jenar,
Kokoh tidak bisa digoyahkan,
Sangat berani,
Membuka segala rahasia,
Dengan tidak segan-segan lagi.

Menyibak Kesejatian Diri-Nya,
Keberaniannya membikin masalah,
Menjungkir balikkan syara' (Hukum),
Kata-katanya sangat berani,
Dicegah oleh semua Wali,
Namun seolah-olah kurang juga yang mencegah beliau.

Lantas hendak bubar,
Para Wali semua,
Untuk pulang ketempat tinggalnya masing-masing,
Dan Sunan Giri Gajah,
Yang berhak memutuskan hukuman,
Bagi yang menjungkir balikkan syara',
Mumpung belum terlalu lama.

Jeng Sunan Giri menyanggupi,
Akan menjatuhkan hukuman mati bagi Syeh Siti Jenar,
Apabila sudah sampai pada waktunya,
Pelantikan Sultan Demak,
Setelah berhasil merebut kekuasaan dari Majalengka ( Majapahit),
Seluruh Wali menyetujui,
Lantas pulang kekediaman masing-masing.